Ngaji Kitab vs Makalah
Oleh : Ahmad Sarwat, Lc.,MA
Sedikit dilema ketika saya cerita tentang literatur keislaman, ternyata banyak sekali jamaah pengajian yang belum bisa bahasa Arab.
Agak menyesal juga sih ketika saya tidak bisa memberi solusi masalah satu ini. Sebab permintaan mereka untuk baca terjemahan sulit dipenuhi.
Pertama, karena terbatasnya jumlah kitab yang sudah diterjemahkan. Kedua, memang kualitas terjemahan itu agak bermasaah. Ketiga, memang kitab-kitab klasik itu sulit diterjemahkan.
Jangankan oleh mereka yang tidak menguasai ilmunya, bahkan para pakar tafsir sendiri pun ketika menerjemahkan kitab tafsir klasik, pada pusing tujuh keliling.
* * *
Fakta di lapangan seperti itulah yang kemudian memotivasi saya untuk menulis makalah sebagai bahan kajian. Makalah tentu berbahasa Indonesia, jadi tidak ada kendala ketika dibaca oleh jamaah kita yang umumnya tidak bisa bahasa Arab.
Selain itu makalah ilmiyah justru punya banyak kitab rujukan. footnote dan daftar pustaka dalam satu makalah bisa sampai belasan dan puluhan jumlahnya.
Dan karena makalah dibuat oleh saya di zaman modern ini, struktur penulisannya tentu akan mengikuti alur yang juga modern.
Ketika membahas suatu topik di bidang fiqih misalnya, biasa kita awali dengan definisi baik secara bahasa atau pun istilah. (تعريف لغة واصطلاحا). Dan seterusnya, tiap masalah akan dibuatkan point-point tersendiri.
Sementara kalau baca kitab klasik, mungkin kita akan dibuat bingung dengan struktur dan daftar isinya yang terkesan muter-muter. Almarhum Doktor Luthfi Fathullah, Lc.MA pernah pernah cerita bahwa dirinya mengeluh kepada KH. Ahsin Sakho terkait mbuletnya daftar isi Shahih Bukhari.
Sebagai pengisi acara di TVRI yang membahas kitab kuning Shahih Bukhari, beliau sempat punya keinginan untuk mengubah ulang struktur bab-bab dalam shahih Bukhari yang terkesan tidak beraturan. Tapi tidak jadi dan tidak berani, karena akan merusak originalitas masterpiece di bidang ilmu hadits.
Maka yang dilakukan oleh ulama bukan mengubah Shahih Bukhari, tetapi mereka justru menyusun kitab hadits sendiri, yang mana isinya banyak setara dengan shahih Bukhari.
Sebut saja misalnya kitab Shahih Muslim yang disusun oleh Imam Muslim. Memang level keshahihannya masih di bawah Shahih Bukhari, tapi secara struktur daftar isi, daftar isi dan bab-bab Shahih Muslim lebih tertata dan terstruktur.
* * *
Sebenarnya menulis makalah untuk kajian ini juga sudah dilakukan oleh para dosen Universitas Al-Azhar Mesir selama ini.
Di kelas para mahasiswa Al-Azhar tidak baca kitab klasik, melainkan membaca makalah karya para dosen mereka. Makalah dosen ini sering disebut dengan istilah : muqarar.
Dan karena muqarar itu ditulis oleh dosen sendiri, tiap hari kuliah seperti lagi bedah buku bareng dengan penulisnya.
Sayangnya para lulusan Al-Azhar sendiri ketika sudah lulus tidak punya kebiasaan seperti dosen mereka, yaitu bikin makalah sebelum mengajar. Sehingga kita agak jarang menemukan karya-karya mereka di bidang kepenulisan.
Memang ada lulusan Al-Azhar yang menulis buku, tapi isinya novel bukan kitab ilmu yang dipelajari selama kuliah. Tetap kita hargai sebagai karya.
Para alumni Al-Azhar itu banyak yang ketika pulang ke tanah air menjadi ustadz dan penceramah. Tapi belum tentu siap kalau sebelum ceramah diminta untuk menuliskan dulu materi yang akan disampaikan.
Mungkin karena disana belum dibiasakan untuk menulis karya ilmiyah. Atau boleh jadi dianggap belum waktunya untuk menulis, sehingga bahkan sampai lulus S-1 pun tidak ada tugas bikin skripsi. Mirip anak D-4 yang lulus tanpa karya tulis.
Saya sendiri bukan mahasiswa Al-Azhar. Saya lulusan LIPIA yang induknya adalah Jamiatul Imam Muhammad Ibnu Suud Kerjaan Saudi Arabia. Kampus pusatnya di Riyadh, tapi buka cabang satu-satunya di Jakarta.
Berbeda dengan Al-Azhar yang mana dosen mengajar pakai makalah, di LIPIA justru kuliah langsung buka kitab klasik (kitab turats). Saya masih ingat judul kitab dan nama penyusunnya, sebab 8 semester tidak lepas semua itu :
1. Fiqih : Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd (595 H).
2. Ushul Fiqih : Raudhatun-Nazhir karya Ibnu Qudamah (620 H).
3. Tafsir : Fathul Qadir karya Asy-Syaukani (1250 H).
4. Hadits : Subulus Salam karya Ah-Shan'ani (1182 H).
5. Nahwu : Audhahul Masalik karya Jamaluddin Ibnu Hisyam (761 H)
Meski tidak ada kewajiban menulis skripsi di LIPIA, tapi selama kuliah 8 semester, para mahasiswa terkena kewajiban bikin makalah (Bahts) sebanyak tiga kali. Dan beban menulis satu makalah itu berat banget. Lebih mudah disuruh mindahin Gunung Uhud, saking beratnya.
Termasuk saya sendiri merasakan betapa beban menulis Bahts di LIPIA itu sebegitu beratnya di masa itu.
Jangan bandingkan dengan sekarang setelah saya sudah menulis banyak buku. Kalau melihat kembali bahts saya zaman masih di LIPIA dulu, ternyata simpel dan sederhjana sekali. Dan kayaknya saya bisa saya bikin hanya dalam durasi 1-2 jam saja.
Sangat ringkas dan sederhana, toh hanya sebuah makalah biasa. Asalkan jurus-jurusnya sudah dikuasai, mudah saja menulis makalah. Apalagi sumber literaturnya sudah tersedia semua secara online.
Lagian Bahts di LIPIA itu kan berbahasa Arab, jadi terlalu mudah untuk dibikin. Tinggal copas sana copas sini dan selesai dalam waktu singkat.
* * *
Balik lagi soal menulis makalah sebelum mengisi kajian, di zaman orang banyak tertipu dengan ustadz abal-abal hari ini, boleh juga tuh untuk seleksinya : para penceramah diminta setor makalah dulu sebelum ceramah.
Jadi tidak perlu bikin surat sertifikasi segala. Malah bikin ramai saja. Yang penting, semua pengurus kajian memintakan kepada para ustadz untuk bikin makalah. Tidak usah banyak-banyak, 10-15 halaman saja pun cukup lah.
Dari isi makalah itu nanti kita tahu kapasitas keilmuannya. Meski tidak wajib bikin makalah, tapi honor tidak keluar sebelum makalah disetor. Setidaknya hanya bisa cair 20% saja, sisanya kudu ditebus pakai makalah.
Saya jamin para ustadz dan penceramah tambah ngamuk. Hahaha . . . .
Sumber FB Ustadz : Ahmad Sarwat
27 Juli 2022 pukul 07.23 ·