PANDANGAN MATA KETIKA SHALAT KE ARAH MANA ?
Afwan kiyai, ke arah manakah pandangan mata diarahkan ketika shalat ?
✔️Jawaban
Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq
Para ulama berbeda pendapat tentang kearah mana seharusnya pandangan mata ketika shalat dijatuhkan, khususnya ketika berdiri. Sebagian ulama berpendapat bahwa pandangan mata ketika shalat adalah ke bawah, yakni ke arah tempat sujudnya.
Sedangkan sebagian yang lain berpendapat bahwa pandangan mata ketika shalat adalah ke depan, yaitu bagi para makmum memandang kepada imamnya.[1]
Adakah yang berpendapat shalat dengan memejamkan mata ?
Tidak ada satupun ulama yang berpendapat seperti itu. Meskipun ada yang membolehkan, namun mayoritas ulama umumnya berpendapat ini adalah perbuatan makhruh yang tidak ada tuntunannya dalam shalat. Insyaallah masalah memejamkan mata ketika shalat akan dibahas di bab tersendiri.
⭐Pendapat pertama : Memandang ke tempat sujud
Mayoritas ulama yakni dari mazhab Hanafiyah, Syafi’iyah dan juga Hanabilah berpendapat bahwa pandangan mata ketika dalam posisi shalat adalah kearah tempat sujud.
A. Hanafiyah
Kalangan Hanafiyah mengatakan - sebagaimana yang disebutkan oleh pengarang Radd al Mukhtar- sebagai berikut :
نظر المصلي إلى موضع سجوده قائماً، وإلى ظاهر قدميه راكعاً، وإلى أرنبة أنفه ساجداً، وإلى حجره جالساً، وإلى منكبيه مسلِّماً، تحصيلاً للخشوع في الصلاة
“Termasuk dari adab shalat adalah memandang ke arah tempat sujud ketika posisi berdiri, memandang punggung kakinya ketika ruku’, kearah batang hidung ketika sujud, kearah pangkuannya ketika duduk, dan kearah pundaknya ketika memberi salam. Hal ini untuk menghasilkan khusyu’ di dalam shalat.”[2]
Al Imam Ibnu Abidin rahimahullah berkata :
أن يكون منتهى بصره في صلاته إلى محل سجوده
“Dan hendaknya akhir pandangan seseorang di dalam shalat adalah ke arah tempat sujudnya.”[3]
Dan as Sarkhasi rahimahullah berkata :
ويكون منتهى بصره في صلاته حال القيام موضع سجوده
“Dan hendaknya ujung pandangannya di dalam shalat ketika berdiri adalah ke arah tempat sujudnya.”[4]
Hal serupa dengan penjelasan Hanafiyah diatas juga diberikan oleh sebagian ulama Syafi’iyah, yakni al Baghawi dan Mutawalliy.
B. Syafi’iyah
Kalangan Syafi’iyah sebagaimana pendapat mayoritas secara umum pandangan shalat adalah ke arah tempat sujud, hanya saja dalam keterangan tambahannya menyatakan bahwa pandangan mata ketika shalat saat berdiri adalah ke arah tempat sujud, kecuali ketika pada saat mengisyaratkan jari di kala tasyahud, maka ketika itu pandangan mata adalah kearah ujung jari telunjuk.
Dan dikecualikan pula dikala shalat jenazah, dikala itu sunnahnya pandanagan mata adalah ke arah jenazah tersebut.”
Syaikh Dimyathi rahimahullah berkata :
وسن إدامة نظر محل سجوده أي بأن يبتدئ النظر إلى موضع سجوده من ابتداء التحرم، ويديمه إلى آخر صلاته، إلا فيما يستثنى
“Dan disunnahkan untuk selalu memandang ke arah tempat sujudnya, yakni sejak awal mula takbiratul ihram hingga akhir shalat, kecuali dalam kondisi yang dikecualikan (saat sujud dan bertasyahud).”[5]
Syekh Zainuddin al Malibari rahimahullah berkata :
وسن إدامة نظر محل سجوده لأن ذلك أقرب إلى الخشوع، ولو أعمى، وإن كان عند الكعبة أو في الظلمة، أو في صلاة الجنازة. نعم، السنة أن يقتصر نظره على مسبحته عند رفعها في التشهد لخبر صحيح فيه
“Disunahkan melanggengkan pandangan mata ke arah tempat sujud supaya lebih khusyu’, sekalipun tuna tentra, atau sedang shalat dekat Ka’bah, atau shalat di tempat yang gelap, ataupun shalat jenazah. Namun disunahkan mengarahkan pandangan mata ke jari telunjuk, terutama ketika mengangkat jari telunjuk, saat tasyahud akhir, karena ada dalil shahih tentang kesunahan itu.”[6]
Memandang telunjuk saat tasyahud didasarkan kepada sebuah hadits :
وأشار بأُصبُعِه الَّتي تلي الإبهامَ إلى القِبْلةِ ورمى ببصرِه إليها
“… Beliau berisyarat dengan jari telunjuknya yang ada di sebelah jempol, ke arah kiblat, dan memandang jari tersebut.”(HR. Ibnu Khuzaimah)
Al Imam Baghawi dan Mutawalli menyatakan bahwa orang yang shalat ketika ia berdiri memandang ke arah tempat sujudnya, ketika ruku, memandang ke arah kakinya, ketika sujud ke arah hidungnya dan ketika duduk memandang ke arah pahanya.[7]
Keterangan yang sama juga disebutkan di beberapa kitab fiqih Syafi’iyyah lainnya.[8]
C. Hanabilah
Al imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata :
الخشوع في الصلاة أن يجعل نظره إلى موضع سجوده
“Khusyu’ di dalam shalat diantaranya adalah dengan cara menjatuhkan padangan ke tempat sujud.”[9]
Terkecuali –menurut mazhab ini – dalam shalat khauf (peperangan) maka pandangan seseorang yang sedang shalat ketika itu adalah kearah kemunculan musuh.[10]
⭐Dalilnya :
Pendapat jumhur yang menyatakan bahwa pandangan mata ketika shalat adalah ke arah tempat sujud didasarkan pada sebuah riwayat dari Abu Hurairah radhiyallahu’anha :
كان أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم يرفعون أبصارهم إلى السماء في الصلاة، فلما أنزل الله تعالى: {الذين هم في صلاتهم خاشعون} رمقوا بأبصارهم إلى موضع سجودهم، لأن جمع النظر في موضع أقرب إلى الخشوع
“Adalah dahulu para shahabat Nabi shalat terkadang mengangkat pandangannya ke langit ketika shalat, sampai kemudian turun ayat : ‘dan orang-orang yang mereka khusyu’ di dalam shalat’ (QS. Al-Mukminun : 2). Lalu mereka menjatuhkan pandangannya ke arah tempat sujud mereka, karena ini lebih mendekatkan kepada khusyu’.”[11]
Sedangkan dalam riwayat beliau yang lainnya berbunyi : “Bahwasanya Rasulullah shallahu‘alaihi wasallam pernah shalat dengan mengangkat pandangannya ke langit. Maka turunlah ayat : “(yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya” Maka beliau kemudian menundukkan kepalanya.” (HR. Al Hakim)
Diriwayatkan dari seorang shahabat shahabat bahwa mereka bertanya keapada Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam :
يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيْنَ أَجْعَلُ بَصَرِي فِي الصَّلَاةِ؟ قَالَ: مَوْضِعَ سُجُودِكَ. قَالَ: قُلْت يَا رَسُولَ اللَّهِ، إنَّ ذَلِكَ لَشَدِيدٌ، إنَّ ذَلِكَ لَا أَسْتَطِيعُ. قَالَ: فَفِي الْمَكْتُوبَةِ إذًا
“Ya Rasulullah, kemana aku harus mengarahkan pandanganku ketika shalat ? Beliau menjawab : ‘Tempat sujudmu’. Maka aku berkata : ‘Wahai Rasulullah, yang demikian itu akan memberatkanku.’ Yang seperti itu aku tidak akan bisa. Maka beliau bersabda : ‘Kalau demikian, lakukan itu dalam shalat wajib saja.”[12]
Dalil selanjutnya adalah adanya kesaksian dari ummul mukminin Aisyah radhiyallahu’anha bahwa :
دَخَلَ رَسُوْلُ اللهِ الْكَعْبَةَ مَا خَلَفَ بَصَرُهُ مَوْضِعَ سُجُوْدِهِ حَتَّى خَرَجَ مِنْهَا
Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam pernah masuk Ka’bah (untuk mengerjakan shalat) dalam keadaan pandangan beliau tidak meninggalkan tempat sujudnya (terus mengarah ke tempat sujud) sampai beliau keluar dari Ka’bah.” (HR. Al Baihaqi)
⭐Pendapat kedua : Kearah depan
Sedangkan madzhab Malikiyah berpendapat bahwa pandangan mata orang yang sedang shalat adalah ke arah depan. Al Imam Ibn Rusyd al Maliki rahimahullah berkata :
الذي ذهب إليه مالك - رحمه الله تعالى - أن يكون بصر المصلي أمام قبلته من غير أن يلتفت إلى شيء أو ينكس رأسه وهو إذا فعل ذلك خشع ببصره ووقع في موضع سجوده
“Pendapat yang dipegang oleh imam Malik rahimahullahu ta’ala adalah bahwa pandangan orang yang sedang shalat mengarah ke kiblat di hadapannya. Tanpa ia condong ke arah manapun atau menundukkan kepalanya karena kalau ia melakukan itu akan membuatnya menundukkan pandangannya ke arah tempat sujud.”[13]
Berkata imam al Kharsyi rahimahullah :
يكره النظر إلى موضع سجوده لتأديته لانحنائه برأسه وإنما يجعل بصره أمامه
Dan dimakruhkan memandang ke arah tempat sujud yang akan membuat ia menunduk, yang seharusnya ia menjadikan pandangannya ke arah depannya.”[14]
Pendapat ini didasarkan kepada dalil-dalil berikut ini, diantaranya firman Allah ta’ala :
فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضٰىهَا ۖ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
“…. Maka sungguh Kami akan memalingkanmu kearah kiblat yang kamu sukai, maka palingkanlah mukamu kearah Masjidil Haram.” (QS. Al Baqarah: 144)
Menurut madzhab Maliki maksud kalimat ‘Maka palingkanlah wajahmu kearah Masjidil Haram,’ adalah perintah yang jelas agar orang yang sedang shalat menghadapkan wajahnya ke ka’bah, apabila pandangan orang shalat diarahkan ke tempat sujud, maka membutuhkan posisi tunduk dan hal ini akan mengganggu kesempurnaan posisi tersebut.
Demikian juga ada beberapa hadits yang tercantum dalam shahih Bukhari, yang menjadi penguat pendapat ini, bahwa para shahabat dahulu shalat dan mereka memandang kearah Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam sehingga diantara mereka ada yang meriwayatkan bahwa jangggut beliau bergerak-gerak karena bacaan dalam shalat.[15]
Namun demikian ada beberapa ulama dari kalangan Malikiyah yang juga berpendapat meskipun yang afdhal mengarahkan pandangan ke kiblat, tetap baik juga mengarahkan pandangan ke tempat sujud.[16]
⭐Kesimpulan
Demikian pandangan para ulama tentang masalah ini. Meskipun pendapat pertama lebih banyak diikuti oleh kaum muslimin dan banyak para ulama yang menyatakan ia sebagai pendapat yang kuat, namun kita harus tetap menghargai saudara kita yang memegang pendapat seperti kalangan Malikiyah.
Sedangkan Ibnu Hajar al Asqalani rahimahullah mencoba menggabungkan dua kubu pendapat dalam masalah ini, beliau mengatakan :
ويمكن أن يفرق بين الإمام والمأموم فيستحب للإمام النظر إلى موضع السجود وكذا للمأموم إلا حيث يحتاج إلى مراقبة إمامه وأما المنفرد فحكمه حكم الإمام
“Memungkinkan bagi kita memisahkan kasus antara imam dan makmum. Yakni dianjurkan bagi imam melihat ke tempat sujudnya. Demikian pula makmum (melihat ke tempat sujud), kecuali bila ia butuh untuk memperhatikan imamnya (guna mencontoh sang imam). Adapun orang yang shalat sendirian , maka hukumnya seperti hukum imam (yaitu melihat ke tempat sujud).”[17]
📚Wallahua'lam.©️AST
____
[1] Al Mausu’ah Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (36/234), Fiqh al Islami wa Adillatuhu (2/913), Fiqh ‘ala Madzhab al “arba’ah (1/224).
[2] Radd al Mukhtar (1/446)
[3] Radh al Mukhtar (1/478).
[4] Mabsuth li Sarkhasi (1/25).
[5] I’anah ath Thalibin (1/214).
[6] Fath al Mu’in (1/126).
[7] Mughni Muhtaj (1/180).
[8] Fath al Wahab bi Syarh Minhajut Thulab (1/55), Hasyiah Jamal (1/400), Hasyiah Bujairami (1/228).
[9] Al Mughni (2/8).
[10] Al Mughni (2/80), Syarh muntaha al Iradat (1/176).
[11] Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (36/234).
[12] Hadits ini disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam al Mughni (2/390) dan Tidak diketahui dikeluarkan oleh siapa.
[13] Mawahibul Jalil fi Syarh al Mukhtashar Khalil (1/549).
[14] Manhul Jalil Syarh ‘ala Mukhtashar Jalil (1/164)
[15] Al Kharsyi (1/293).
[16] Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (36/236).
[17] Fathul Bari (2/232).
Sumber WAG : SUBULANA I
7 Juni 2022