Kenapa Harus Paham Pondasi Akidah (Ilmu Kalam)? Jawabannya Karena Allah Memerintah Agar Tahu, Bukan Agar Ikut Saja Atau Yakini Saja. Tahu Itu Adalah Paham.
Selengkapnya baca dalam ulasan status ini
Kebenaran Ilmu kalam itu apakah hanya berlaku buat umat islam dan buat mutakalimin saja?
by Ustadz Fauzan Inzaghi
Simpelnya ilmu kalam itu gini, ilmu kalam itu ilmu yang berbicara tentang sebuah objek, objeknya itu adalah aqidahnya orang islam, lalu setiap detail aqidah itu diuji dengan dalil/argumen dan kritik ilmiyah, nah argumen ilmiyah ini ga pandang agama, bahkan ga pandang aliran filsafat dan pemikiran(kecuali sofis).
Argumen ilmiyah ini adalah sebuah hukum/kaidah ilmiyah yang dijadikan tolak ukur dan standar sesuatu masalah atau argumen bisa dikatakan ilmiyah atau tidak, dan kaidah-kaidah ini disepakati sebagai metodelogi penelitian ilmiyah oleh lintas aliran pemikiran. Jadi dalam ilmu kalam, jika isi kitab ilmu kalam berhasil mempertahankan thesis tentang aqidah itu dengan argumen ilmiyah yang disepakati umat manusia lintas pemikiran tadi, maka aqidahnya itu bisa dikatakan ilmiyah, keilmiyahannya bukan hanya milik umat islam saja, tapi siapa saja yang mempercayai ilmu
Apa itu ilmiyah? Klaim dalam masalah aqliyat/rasional dipertahankan dengan argumen hukum akal, klaim dalam masalah naqly harus dipertahankan dengan hukum naqly(baik nukilan atau penalaran) yang berbasis akal, klaim dalam masalah yang ditangkap secara inderawi harus dipertahankan dengan hukum empiris yang berbasis akal, klaim dalam masalah bahasa harus dipertahankan dengan argumen nukilan bahasa yang juga berbasis akal, dan klaim masalah kasyaf/ilham harus dipertahankan dengan dalil kasyfy yang juga berbasis akal.
Jika dilihat hampir semua argumen itu basisnya akal, karena sebenarnya dari akal lah argumen lain bisa terbentuk. Hanya saja dalam masalah aqliyat yang dipakai adalah argumen akal murni, sedangkan diwilayah lain, akal terbatas. Jadi dalam argumen lain, akal hanya dipakai sebagai dasar dan basis argumen, seusai batas wilayah dan kemampuannya saja.
Misalnya akal mengatakan bahwa arti dari sebuah kata bisa diketahui dari para pengguna bahasa, itu yang dikatakan akal, dari kaidah akal itulah argumen/dalil bahasa bisa diterima secara ilmiyah, sebelum memahami itu, maka bahasa tidak bisa dijadikan argumen, jadi asas/basis diterimanya dalil bahasa adalah kaidah akal. Tapi disisi lain, kemampuan akal terbatas, dimana dia tidak tau makna "miskin" misalnya, kecuali setelah bertanya pada pengguna bahasa(yang dirangkum dalam kamus atau langsung ditanya pada orangnya)
Jadi akal murni itu kekuatan nalar dan argumennya tidak mampu serta terbatas jika dipakai untuk mengetahui arti kata "miskin", dia butuh bantuan "penukil bahasa" untuk memahami arti kata miskin, jadi akal ga bisa mandiri untuk mengetahui masalah ini. Tapi disatu sisi, kita juga baru bisa tau bahwa nukilan dari penggunaan bahasa baru bisa menjadi dalil/argumen untuk mengetahui arti sebenarnya dari sebuah kata, ya dari hukum akal murni. Jadi argumen nukilan bahasa, baru bisa jadi argumen ilmiyah setelah dia diketahui telah sesuai dengan kaidah hukum akal lebih dahulu, singkatnya "berbasis hukum akal" lah.
Nah hal yang mirip juga terjadi pada argumen empiris, naqly, kasyf/ilham, dll. Dimana itu akan menjadi dalil/argumen ilmiyah dengan basis akal, karena tanpa mengetahui akal, maka kita tidak akan tau apakah suatu argumen bisa disebut dalil atau argumen ilmiyah atau tidak.
Nah dalam ilmu kalam, prosesnya juga sama, agar ilmu kalam bisa dikatakan ilmiyah, jadi prosesnya adalah tinggal cek aja objek bahasannya(aqidah), baru kemudian diuji dengan argumen yang memenuhi standar ilmiyah, lalu kemudian bisa disimpulkan apakah objek kajian dan sebuah klaim kebenaran sesuai dengan kaidah ilmiyah atau tidak.
Dari situ kita tahu, apakah aqidah kita itu benar secara ilmiyah atau tidak. Jika salah ya ngapain kita ikuti aqidah yang salah. Jika benar, maka yang kita ikuti adalah ilmu, jadi aqidah kita bukan lagi sekedar ikut-ikutan kelompok, fanatik mazhab, keyakinan warisan atau bawaan lahir, dll, tapi ya itu memang ilmu pengetahuan yang harus diikuti orang beraka, yang mengikuti sesuatu yang ilmiyah
Aqidah yang telah di uji itu, bukan lagi "doktrin" atau "dogma" dimana itu semua hanya perlu diyakini saja, tanpa perlu dalil. Jadi kata-kata yang mengatakan "jangan merasa paling benar", "biar tuhan yang menilai" setelah penelitian ilmiyah adalah suatu hal yang konyol dan pengkhianatan terhadap ilmu pengetahuan. Sama saja dengan orang yang mengatakan kalau 1+1=3, lalu mengatakan pada orang lain "jangan merasa paling benar". Karena setelah melewati proses ilmiyah, harusnya ketika berbicara tentang hasil ilmiyah yang didapat, kita tidak lagi bicara tentang mazhab atau kelompok tertentu, apalagi kecenderungan, tapi murni tentang kebenaran ilmiyah dan ilmu pengetahun
Jadi jika mazhab, agama, filsafat itu benar secara ilmiyah, maka mazhab itu adalah kebenaran itu sendiri, jadi saat seorang menjadi pengikutnya ya berarti dia sedang menjadi pengikut ilmu, bukan mazhab atau tokoh tertentu. Dan jika dia sedang condong dan memilih agama itu, bukan suka-suka dia, tapi karena pilihannya memang ilmiyah. Dan jika dia condong pada pendapatnya, dan mengkritik pendapat lain, bukan karena kefanatikannya, tapi memang karena keilmiyahannya.
Karena ilmiyah itu ga punya agama dan mazhab, apalagi aliran pemikiran(filsafat) tertentu. Walaupun agama, mazhab, dan aliran pemikiran bisa ilmiyah dan bisa juga tidak. Tinggal diuji saja setiap klaim kebenaran dan keilmiyahan, dengan argumen ilmiyah yang sudah disepakati diawal, tanpa perlu menuduh tanpa meneliti dengan detail, tanpa perlu membenci atau mencintai pihak yang mengkritik atau membela, dll, intinya ya harus dingin dalam pembahasan ilmiyah(tentu diforum ilmiyah).
Setelah melewati itu semua, baru kita tau, apakah suatu aliran pemikiran, agama atau mazhab, ilmiyah atau tidak. Nah kembali kepertanyaan awal, apakah aqidah yang kita ikuti sekarang benar secara ilmiyah? Nah untuk menjawab pertanyaan itu, para ulama islam menghidupkan sebuah ilmu yang dinamakan dengan ilmu kalam, sehingga didalamnya kita bisa menguji klaim kebenaran aqidah kita secara ilmiyah, sehingga kita melaksanakan kewajiban kita sebagai muslim secara ilmiyah dan tanpa harus takut bertentangan dengan ilmu pengetahuan
Dengan begitu, maka kita akan beriman dengan akal, bukan dengan sekedar yakin, percaya atau bawaan lahir, apalagi sampai berkata "kamu mengatakan itu bener, karena itu kelompokmu, jadi wajar ada kecondongan membela kelompok yang kamu ikuti", yang berkata seperti itu, sama sekali tidak memahami apa itu "ilmiyah""argumen", dan kaidah logika.
Nah setelah mengetahui itu, kita baru bisa mengambil kesimpulan bahwa kebenaran yang ada dalam ilmu kalam itu berlaku untuk siapa saja yang berpegang ilmu, bukan cuma milik umat islam aja, apalagi jika dibatasi pada mutakalimin aja. Karena apa? Argumen yang dipakai ilmiyah. Selama dia mengaku ilmiyah, maka dia harus siap dikritik secara ilmiyah dan dengan argumen ilmiyah, itu dia isi kitab-kitab ilmu kalam.
Kenapa umat islam sangat peduli dengan keilmiyahan aqidah mereka?itu karena mereka punya kewajiban setelah mereka mendengar ayat alquran memerintahkan "fa'lam annahu lailaha illallah" ketahuilah(dengan ilmu) bahwa tiada tuhan selain allah, yap perintahnya adalah mengenal allah dengan ilmu, perintahnya bukan "fa'taqid atau faqul annahu lailaha illallah" yang berarti percayalah atau katakanlah bahwa tiada tuhan selain allah. Jadi perintah allah bukan sekedar percaya atau berkata saja, tapi mengetahui secara ilmiyah dengan akal dan ilmu, untuk mengamalkan perintah ayat itulah ilmu kalam itu lahir dan terus dikembangkan. wallahualam
*Foto dibawah adalah maqam dari imam ilmu kalam, fakhrul millah wad din, imam arrazi
Sumber FB : Ustadz Fauzan Inzaghi
21 Juni 2022 pada 08.54 ·