Fiqih Ikhtilaf : Biar Tidak Senggol Bacok
by. Ahmad Sarwat, Lc.MA
Dalam forum tanya jawab usai membahas fiqih ikhtilaf, salah satu jamaah pengajian ada yang bertanya kepada saya tentang hukum ikut aliran tarekat ke saya.
Jelas saya jawab bahwa saya tidak terlalu banyak paham tentang dunia tarekat. Materi fiqih ikhtilaf dan perbandingan mazhab yang barusan saya sampaikan, sama sekali tidak ada kaitannya dengan perbandingan aliran-aliran tarekat.
Lagian spesialisasi pelajaran saya dulu memang ilmu fiqih dan bukan ilmu tarekat.
Jadi saya sarankan kepadanya untuk nanti saja bertanya tentang masalah tarekat kepada mereka yang ahli dan pakar di bidang itu. Saya ini hitungannya hanya orang awam di dunia tarekat. Jangan tanya masalah tarekat ke saya.
* * *
Tapi jamaah itu terus komplain lagi, bahwa dulu dirinya pernah ikut tarekat lalu keluar. Alasanya bukan apa-apa, tapi tidak tahan dengan perseteruan antar sesama pengikut tarekat itu sendiri.
Wah, saya bilang jangan dibawa-bawa kesini lah. Itu urusan dalam negeri masing-masing.
Tapi dianya ngotot bercerita. Awalnya dulu ikut tarekat biar mendapatkan ketenangan, khususnya dari khilafiyah-khilafiyah yang ada di dunia ilmu fiqih.
Soalnya menurut pendapat dia waktu itu, ilmu fiqih itu telah terkotori dengan banyaknyaa khilafiyah yang sudah keterlaluan. Makanya dianggap tidak layak lagi untuk dipelajari dan diikuti.
Awalnya dia rajin belajar ilmu fiqih, tapi di tengah jalan pernah ada seorang ustadz menasehati, sebaiknya jangan belajar ilmu fiqih, nanti hati anda menjadi kering kerontang.
Sebagai gantinya, cobalah ikut tarekat yang akan membuat hati jadi lebih tenang, thuma'ninah dan lembut.
Nasehat ustadz ini pun diikuti dan dia pun berhenti mengaji fiqih yang dianggapnya hanya main-main logika semata, kurang menyentuh wilayah hati. Lalu masuk sebuah aliran tarekat.
Awalmya dia bahagia seperti menemukan apa yang selama ini dicari, yaitu ketenangan jiwa dan batin.
Namun hal itu ternyata tidak berlangsung lama. Setelah beberapa lama ikut kajian dan berbagai aktifitas tarekat, ya itu tadi, dia komplain, kirain kalau sudah ikut tarekat, hati jadi tenang dan damai.
Tapi yang dia rasakan justru gesekan dan pertentangan antara sesama pengikut tarekat tidak kalah sengit dan dahsyat, ketimbang perbedaan dan khilafiyah dalam ilmu fiqih.
Dikirain ikut tarekat itu dijamin aman tidak ada perselisihan, tapi kenyataannya lain. Ribut antara pemimpin tarekat dan saling menjelekkan satu kelompok dengan kelompok yang lain ternyata tetap ada, kadang rada dahsyat juga.
* * *
Saya hanya bisa kasih komentar pendek bahwa tidak ada cabang ilmu yang tidak mengandung perbedaan dan khilafiyah.
Bahkan dalam ilmu tafsir dan ilmu hadits pun khilafiyahnya pasti ada, perbedaan-perbedaan pandangan di kalangan ulama Al-Quran itu cukup besar, begitu juga di kalangan ulama hadits, amat sangat besar sekali lah deh dong.
Lha wong membaca Al-Quran saja pun ada banyak sekali perbedaannya antara berbagai qiraat. Makanya kita mengenal ada 7 hingga 10 qiraat, yang dikenal dengan qiraat sab'ah dan qiraat asyrah.
Malah kemarin ada salah seorang jamaah pengajian saya yang cerita bahwa dirinya selama ini aktif di Masjid Kebun Jeruk sebagai Jamaah Tabligh.
Selama ini mereka lebih fokus kepada ibadah di masjid dengan menjauhi urusan pertentangan dan perdebatan fiqhiyah. Ketimbang ribut masalah khilafiyah, kenapa tidak perbanyak saja ibadah masing-masing.
Namun beliau juga cerita bahwa dalam tubuh mereka pun ternyata ada juga pecah dua, jadi kubu A dan kubu B. Entah apa yang mereka jadikan permasalahan, pokoknya faktanya ternyata ribut-ribut juga.
Padahal selama ini sudah menghindari urusan khilafiyah fiqih yang dianggap bikin pecah umat.
* * *
Satu lagi teman saya yang mendalami ilmu tauhid, Beliau pun menimpali bahwa di dalam disiplin ilmu tauhid ternyata ada banyak sekali kelompok sesama ahlussunnah juga yang berbeda-beda.
Dan perbedaan atau pertentangannya juga tidak kalah seru. Malahan beliau cerita, kenapa imu tauhid juga dijuluki ilmu kalam. Kalam itu kan artinya pembicaraan, karena sangat didominasi dengan perdebatan-perdebatan. Waktu khususnya perdebatan tentang sifat kalam-Nya Allah SWT.
Malah kisah Al-Imam Abu Hanifah sebelum berubah haluan menjadi ahli fiqih, justru diawali sebagai tokoh yang ahli berdebat dalam ilmu kalam itu.
Maka ketika Beliau pindah orientasi menjadi ahli fiqih, metode pendekatan logikanya amat menonjol. Banyak dijuluki sebagai fiqih ahli ray'i alias kuat sekali di sisi logika. Ini kalau dibandingkan dengan mazhab Maliki di Madinah yang sangat dominan unsur periwayatannya ketimbang logikanya.
* * *
Maka kajian fiqih ikhtilaf atau perbandingan mazhab justru digelar untuk bisa melihat berbagai perbedaan itu sebagai prestasi, keunikan dan keistimewaan, bukan malah ikut terlibat dalam perbedaan itu.
Posisi kita sebagai pengamat yang jujur dan objektif, bukan sebagai bagian dari salah satu kubu, lantas jadi combatan hardliner-nya.
Ungkapan bahwa perbedaan itu rahmat benar-benar dijadikan prinsip dalam kajian ini. Semakin ada perbedaan yang besar dan unik, semakin menarik untuk dikaji.
Justru ketika para ulama bersepakat dalam satu masalah, entah itu dalam format ijma' atau pun sekedar level jumhur ulama menyepakati, kajian malah jadi kurang seru.
Makanya yang sudah terbiasa ikut kajian fiqih ikhtilaf pastinya sudah punya mental baja, terbiasa melihat perbedaan pendapat.
Sudah tidak norak lagi, tidak kampungan dan tidak grasa-grusu kasih komen negatif pada pendapat yang tidak disukai. Apapun perbedaan pendapat para ulama, semua diapresiasi, bukan dicaci maki, apalagi dimusuhi.
Sebab kalau kita selalu memusuhi pendapat yang tidak kita sukai, dimana-mana pastinya kita punya musuh. Beda dikit bacok, senggol dikit bacok.
Sedikit-sedikit bacok.
Sumber FB Ustadz : Ahmad Sarwat
13 Juni 2022 pukul 04.19 ·