2 PERSELISIHAN SALAF
Generasi salaf yang klaim sebagai generasi terbaik juga pernah mengalami perbedaan tajam antara kubu satu dengan kubu yang lain. Perbedaan tersebut adalah dalam hal manhaj atau metodologi cara istinbat (merumuskan hukum dari al-Qur'an dan as-Sunnah) dan perbedaan konsep rumusan dalam mempertahankan kebenaran akidah. Yang pertama dalam masalah fikih dan yang kedua dalam masalah akidah. Tapi dipastikan semua masih dalam bingkai Ahlussunnah wal Jama'ah.
I. PERSELISIHAN ANTARA KUBU AHLI HADITS DAN AHLI RA'YI
Ulama' generasi salaf kedua dan ketiga begitu mengagungkan ilmu hadits. Bagi mereka, siapapun yang mumpuni dan punya kepiawaian dibidang ini, maka ia layak dianggap sebagai ulama' jempolan dan menunjukkan kwalitas dirinya. Kondisi ini menyebabkan manhaj ra'yi yang banyak dilahirkan ulama' Kufah, Iraq, dianggap aneh dan menyeleweng dari kesepakatan tidak tertulis antara mereka.
Imam Abu Hanifah yang disebut pimpinan ahli ra'yi banyak menerima kritik dan kecaman. Tidak hanya itu, ulama'-ulama' ahli hadits dari kalangan ahli ra'yi juga mengalami hal sama, mereka kerap mendapatkan kritik tajam (jarh), bahkan sampai level tuduhan haditsnya tidak dapat diterima.
Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, seorang hafiz hadits yang masih murid Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, misalnya, harus menerima kecaman dari ahli hadits karena menyusun kitab fikih yang terbilang model baru saat itu, yaitu dengan tanpa mengikut sertakan dalil-dalil haditsnya. Itu juga dampak perselisihan antara kubu ahli hadits dan ahli ra'yi.
Sebenarnya ahli ra'yi lahir bukan karena mereka tidak banyak menghafal hadits, atau minim pembendaharaan riwayat haditsnya. Terbukti banyak ahli hadits dan periwayat hadits yang pakar yang lahir dari kalangan ahli ra'yi. Mereka disebut disebut ahli ra'yi karena mereka banyak melakukan qiyas dan bahkan yang kali pertama menerima fikih iftirodhi atau fikih taqdiri, yaitu rumusan fikih untuk masalah yang belum terjadi sebelumnya. Dan pola pemikiran ini dianggap beda jalur dengan yang dilakukan oleh ulama' madzhab hadits. Tapi harus diingat, Imam Syafi'i juga mengadopsi pola fikih taqdiri diatas.
Diantara ulama' yang mampu melebur perbedaan tersebut adalah Imam Syafi'i. Imam Ahmad bin Hanbal, muridnya, berkata tentangnya: "Andai bukan karena Imam Syafi'i tentu kami akan terus melaknat ahli ra'yi dan ahli ra'yi melaknat kami".
II. PERSELISIHAN ANTARA AHLI ATSAR DAN AHLI NAZHOR
Perselisihan ini terkait dengan methode penguatan akidah Ahlussunnah wal Jama'ah saja, bukan masalah lahirnya akidah baru yang menyelisihi doktrin-doktrin akidah sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Sebenarnya ini bukan masalah prinsip dalam akidah, tapi bagi yang tidak faham masalah ini dianggap prinsip atau usul.
Pada masa salaf, syubhat dan sengketa pemikiran akidah tidak seperti yang terjadi pada masa khalaf. Kondisi ini menjadikan mayoritas ulama' salaf lebih memilih methode ahli hadits yang mencukupkan diri dengan dalil-dalil naqli (al-Qur'an dan as-Sunnah) serta menghindari penggunaan dalil-dalil logika atau ilmu kalam, yaitu dalil-dalil yang disusun dari logika mantiqi (nalar). Karena itu, ketika ada beberapa ulama' salaf, seperti al-Muhasibi, Ibn Kullab dan lain-lain yang menghadirkan methode kalam dan nazhor, maka ramai dari mereka yang mengkecam. Contohnya Imam al-Muhasibi dan Imam Ibn Kullab mendapat kritik dari Imam Ahmad bin Hanbal dan salaf lain karena itu.
Tetapi dimasa Imam al-Asy'ari, dan setelahnya, kebutuhan terhadap pemikiran ahli kalam dan nazhor sudah sangat diperlukan, karena mereka harus menghadapi syubhat Mu'tazilah, kaum filsuf, atheis dan lain-lain yang cenderung hanya menggunakan nalar atau logika murni. Tentu saja yang menggunakan nalar logika harus dilawan dengan cara yang sama. Demikian prinsip yang dipedomani oleh ulama' muta'akhirin. Terbukti, ketika mulai berserakan hujjah-hujjah Mu'tazilah, banyak ahli hadits yang kebingungan menjawab syubhat-syubhat mereka.
Benar kata ulama', bahwa ilmu kalam menjadi sangat penting dan wajib jika sudah waktunya diperlukan. Dan sebelum waktunya, menggunakan ilmu kalam dianggap sia-sia atau tidak tepat.
Wallahu A'lam
Sumber FB Ustadz : Hidayat Nur
21 Juni 2022 pada 13.20 ·