Mulai Mempelajari Pemikiran Irfani Ibnu Arabi
Sebelum dua tahun lalu, saya nyaris tak pernah bersinggungan intens dengan Ibnu Arabi. Namun itu semua berubah sejak dua tahun lalu.
Dua tahun lalu ada orang Mesir membuat fitnah. Dr. Hamdi Zaqzouq, salah satu guru Syekh Ahmad Thayyib, wafat. Bukannya mendoakan, malah dia memanfaatkan momen itu untuk mendoakan buruk beliau. Ia menuduhnya sebagai penganut aliran sinkretisme agama, bermodalkan salah satu kutipan buku beliau.
Tentu saja medsos bergejolak. Banyak yang menuduhnya (memang sudah fakta) bahwa ia tak memahami kalam orang besar ini.
Bukan insaf, malah menjadi-jadi. Ia menarik-narik kasus ini dengan menyebut nama Ibnu Arabi sebagai sumber sinkretisme agama. Tentu saja medsos semakin panas.
Perdebatan akhirnya berkulminasi kepada teori Wahdatul Wujud Ibnu Arabi. Beberapa murid Syekh Saed Faudah melancarkan serangan. Masyayekh lainnya melancarkan serangan balik. Saya tak perlu menyebut nama disini.
Dari situ saya mulai membaca tentang Ibnu Arabi, khususny teori Wahdatul Wujud. Saya khatamkan dua karya Syekh Saed seputar ini. Saya juga membaca karya Syekh Musthafa Shabri yang mengkritik Ibnu Arabi dalam karyanya Mauqif al-Aql wal Ilm wal Alam min Rabbil Alamin. Saya jadi tahu, konsepsi Syekh Saed Foudah memang berasal dari Syekh Musthafa Sabri sepenuhnya.
Disisi lain, saya juga mendengar keterangan masyayekh al-Azhar tentang Wahdatul Wujud. Saya mendengar dars Syekh Yusri, kemudian Syekh Muhanna. Juga membaca keterangan Syekh Yusri dalam Syarah Manazil Sairin, al-Futuhat al-Yusriyyah.
Saya pribadi, sejujurnya, tak puas dengan penjelasan Syekh Saed di dua buku tersebut. Pertama karena masyayekh al-Azhar menerangkannya secara berbeda, kedua karena saya menemukan data-data turats dari para ulama pembela Ibnu Arabi yang berbeda.
Saya membaca banyak kutipan dari Ihya’ Ulumiddin, al-Iqtishad fil I’tiqad, mengkhatamkan Misykatul al-Anwar, al-Maqshid al-Asna, Jawahir al-Quran dan al-Arbain fi Ushuliddin yang kesemuanya karya Imam al-Ghazali.
Saya juga menelusurinya di Lawami’ al-Bayyinat, Mafatihul Ghaib. Keduanya karya Imam ar-Razi. Juga karya-karya Syekh Abdul Ghani an-Nabulsi, seperti Khamratul Khan (ketika itu masih manuskrip), Idhahul Maqshud, al-Wujud al-Haq, dsb. Juga di Syarah Risalah Arselaniyyah karya Syekh Zakariyya al-Anshari.
Kini saya mulai memburu karya-karya Syekh Ibrahim al-Kurani yang dulu merupakan gurun besar ulama Nusantara, semisal Hamzah Fanshuri. Dimulai dari mengkhatamakan Ithaf al-Dzaki kemudian kini baru memiliki Majmu’ Rasail al-Kurani. Masih cukup banyak buku-buku yang juga saya tekusuri.
Namun, memang saya akui, saya belum berani menyentuh karya Ibnu Arabi secara langsung. Sebagai pembelajar yang diajarkan untuk membaca secara metodologis, saya perlu memulainya dari yang cukup ringan. Futuhat Makkiyyah adalah level yang sangat tinggi, demikian guru-guru saya terangkan.
Akhirnya, saya cukup punya kesimpulan pribadi. Bahwa apa yang dikritik oleh Syekh Saed sebenarnya bukan makna yang dikehendaki oleh Ibnu Arabi. Paling tidak lewat pembacaan ulama-ulama pembela Ibnu Arabi.
Bahkan menariknya, di karya Syekh Musthafa Shabri di atas, sempat diutarakan makna benar yang juga itu dikuatkan para murid dan ulama pembela Ibnu Arabi. Meski pada akhirnya Syekh Musthafa memilih mengkritik Ibnu Arabi dengan makna lain yang juga dimungkinkan.
Pembacaan panjang namun belum berakhir ini memberikan pelajaran yang luar biasa. Apa yang dikatakan oleh Syekh Husam ketika pelajaran dulu, bahwa membaca teori-teori Ibnu Arabi memang harus menuntaskan semua materi ilmu kalam, filsafat, mantiq dan ushul fikih dulu. Baru nantinya akan mulai sedikit memahami apa yang dimaksud Ibnu Arabi.
Kita boleh berbeda pendapat dengan ulama yang kita kagumi bahkan. Dalam kasus ini, maksud saya Syekh Saed Foudah. Namun kita berusaha sekuat tenaga agar memahami sebuah konflik ilmiah dengan metodologis, terlengkapi seluruh prasyaratnya.
Sejujurnya saya tak menyangka, sebuah konflik membawa keberkahan. Menuntun saya untuk membaca lebih banyak dan memahami lebih banyak. Terutama dengan pendekatan yang tepat menurut para ulama.
Sumber FB Ustadz : Muhammad Nora Burhanuddin
14 Maret 2022 ·