Tadabur
Zaman dulu masih SMP, saya dikenalkan dengan istilah 'tadabur' oleh para mentor. Jadi mentor menyampaikan materi di depan whiteboard dengan memegang spidol. Sebentar-sebentar menulis angka-angka yang ternyata nomor surat dan nomor ayat.
Misalnya ketika mewajibkan kita berhukum dengan hukum Allah, si mentor menuliskan angka 5:44-45-47. Maksudnya buka surat 5 yaitu Al-Maidah, baca pada ayat 44, 45 dan 47.
Lalu kita para peserta sibuk kebat-kebet mushaf terjemahan Depag. Cari surat nomor 5 dan ayat 44, 45 dan 47. Siapa yang ketemu duluan, disuruh membacakannya. Lucunya yang dibaca bukan teks arabnya, tapi cukup hanya terjemahannya saja.
Sepanjang kajian, ada puluhan nomor surat dan ayat yang dituliskan di whiteboard. Kita pun juga ikut mencatat kode-kode surat dan ayat itu di buku tulis.
Sebagian teman saya malah bawa stabilo. Ayat-ayat yang tadi sudah dibacakan terjemahannya, dikasih stabilo. Ini ayat yang penting, gitu katanya.
oOo
Tentu saja hari ini kalau ingat kejadian di masa SMP itu saya akan tertawa geli. Soalnya mentornya hobi banget mengutip ayat Quran, lalu mengait-ngaitkan satu ayat dengan ayat lain, tapi sama sekali tidak pernah merujuk ke kitab tafsir.
Semua keluar dari logika dan otaknya dia sendiri. Ayatnya tidak ada yang salah. Cuma yang kacau adalah ketika dia mulai menarik kesimpulannya. Misalnya dia bilang bahwa ciri orang beriman itu kalau khusyu' shalatnya. Dia tulis di whiteboard angka 23 : 1-2.
Maksudnya surat ke-23 yaitu Al-Mukminun ayat ke-1 dan 2. Kita disuruh baca artinya, (Sungguh beruntung lah orang mukmin, yaitu mereka yang khusyu' dalam shalatnya). Lalu dia simpulkan jadi begini : Makanya shalat itu harus lama biar khusyu'. Kalau tidak khusyu' maka gugurlah keimanan kita. Sebab orang beriman itu syaratnya kalau shalat harus khusyu'.
Zaman segitu saya masih SMP, ya langsung telan bulat-bulat saja. Sehingga mulai lah saya kalau shalat itu lama, khususnya ketika sujud. Biar dibilang khusyu' sekalian biar jidat jadi hitam.
Sebab jidat hitam itu adalah 48 : 29. Apa itu?
Kita balapan kebat-kebet lagi Quran terjemah, ketemu terjemahannya dan dibaca (. . . tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud . . . ). Jadi jidat hitam itu ciri orang beriman. Kalau tidak hitam ya tidak beriman. Maka orang beriman itu shalatnya lama dan jidatnya hitam.
Kita pun menganggung-angguk macam sapi ompong. Itulah yang disebut dengan tadabur. Sebab orang kalau tidak tadabur, berarti harinya terkunci. Buka 47 : 24 dan baca.
Kita pun kembali lomba kebat-kebet Quran, ketemu dan baca (Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?)
Dan begitu lah seterusnya cara mendoktrin suatu paham tertentu. Seakan-akan yang dijadikan dasar itu Al-Quran, padahal Al-Quran cuma sekedar gimick saja, pajangan dan asesori.
Baca ayatnya ayat Quran, tapi bagaimana menarik kesimpulan hukumnya, 100% pakai hawa nafsu, kepentingan, selera, dan aliran kelompoknya sendiri.
Sambil menyalahkan semua paham lain, sebab dianggap bertentangan dengan Qur'an. Kitab tafsir?
Wah kitab tafsir itu karangan manusia, bisa salah. Kalau Qur'an itu mutlak kebenarannya. Sudah buang saja kitab tafsir, nggak ada gunanya. Kembali ke Quran yang asli.
oOo
Ternyata, semua itu tipu-tipu. Bukan kembali ke Quran, tapi ikut doktrinnya si mentor yang pakai asesori terjemahan Qur'an. Tapi apalah daya anak SMP, kena doktrin bejat kauak gitu langsung klepek-klepek.
Kasihan sih sebenarnya. . .
Sumber FB Ustadz : Ahmad Sarwat
7 Desember 2022 ·