Syariah Islam
Istilah syariah Islam semakin hari semakin mendapat tempat di hati publik Indonesia.
Sebenarnya ini bagian dari trend yang sedang berkembang. Dulu-dulu justru istilah syariah Islam banyak dihindari. Sebab bicara syariah Islam langsung konotasinya potong tangan, rajam, cambuk dan penggal kepala.
Entah bagaimana kemudian trendnya berubah. Istilah syariah Islam tidak lagi terkesan tabu seperti masa lalu.
Pastinya semua skenario dan ketentuan Allah . Namun kalau boleh mengamati, kampanye penerapan syariah Islam dalam kehidupan sehari-hari nampaknya tidak pernah meredup.
Mulai dari ritual ibadah yang semakin jadi kegemaran masyarakat. Masjid tumbuh bagai jamur di musim hujan. Pengajian ramai diharidiri jamaah. Antrian haji yang mengular sampai puluhan tahun, termasuk acara religi di banyak media tv nasional yang semakin naik ratingnya.
Di bidang perbankan, bermunculan unit syariah, meski bank induknya masih konvensional.
Di bidang busana dan mode, pakaian syar'i tiba-tiba banyak dicari. Baju koko untuk laki dan hijab buat wanita. Garmen dan boutique ramai-ramai produksi pakaian yang berlabel syariah.
Di bidang kuliner, masyarakat semakin meributkan label halal, sehingga memaksa para produsen makanan mengurus sertifikat halal. Sesuatu yang dua puluhan tahun lalu belum seriuh-rendah sekarang.
Di bidang papan atau rumah tinggal, banyak developer yang menawarkan komplek perumahan yang mengusung istilah syariah. Bahkan hingga paket kredit cicilannya pun ikut ketentuan syariah non ribawi.
Di bidang hiburan dan entertainmen, lagu religi banyak dicari orang. Para penyanyi dan group band ramai-ramai banting stir mulai kumandangkan semua yang bernuansa syariah, setidaknya tembang religi.
oOo
Namun ada fenome unik yang menurut saya menarik untuk diamati. Di balik riuh-rendah dan gegap gempitanya apa-apa yang serba syariah, fakultas syariah yang melahirkan pakar syariah justru tidak pernah dibangun di negeri ini.
Fakultas Syariah memang sejak dulu sudah ada di berbagai perguruan tinggi keislaman, . Namun saya tidak melihat misalnya ada peningkatan minat mahasiswa belajar di fakultas syariah secara signifikan.
Mungkin saya keliru dan kurang update, tapi saya belum menerima laporan misalnya terjadi lonjakan permintaan dan minat calon mahasiswa fakultas syariah. Angkanya cenderung masih normal-normal saja.
Yang trending di masyarakat justru bermunculan rumah Tahfiz di berbagai pelosok negeri. Padahal dari sisi speknya, rumah Tahfiz itu tidak pernah mempelajari ilmu syariah yang punya begitu banyak cabang dan bidang konsentrasi kajian.
Rumah Tahfiz sesuai namanya adalah tempat untuk menghafal Al-Quran. Tujuannya melahirkan para penghafal Al-Quran hingga 30 juz. Kita paham kemuliaan orang yang hafal Qur'an dan tidak perlu dibicarakan lagi.
Namun syariah Islam adalah ilmu yang tidak hanya sebatas menghafal Al-Quran saja. Menghafal Quran hanyalah satu elemen kecil yang melengkapi ilmu syariah. Karena masih dibutuhkan puluhan cabang ilmu Al-Quran lainnya, utamanya ilmu tafsir dan Ushul tafsir.
Ditambah lagi dengan rumpun ilmu hadits, rumpun ilmu fiqih, ilmu Ushul fiqih, qawaid fiqhiyah, qawaid ushuliyah, tarikh Tasyri', Dirasah mazhahib, dan tentu saja serangkaian ilmu bahasa Arab mulai dari Nahwu, Sharaf, Manthiq, Badi', Ma'ani, Bayan dan sebangsanya.
Bahkan kalau kita baca ulang dengan teliti, ternyata syarat untuk menjadi ahli syariah (Mujtahid) tidak ada yang spesifik harus hafal Quran luar kepala 30 juz.
Walaupun secara kenyataan bisa dipastikan semua ahli syariah hafal 30 juz. Lalu kenapa tidak tercantum dalam syarat Mujtahid?
Jawabannya sederhana sekali, karena mereka rata-rata sudah hafal 30 juz sejak lulus madrasah ibtidaiyah. Ibarat syarat melamar kerjaan, syarat harus lulus SD pastinya tidak dicantumkan. Minimal SMA dan sederajat. Kalau lulus SMA berarti pastinya sudah lulus SMP dan SD.
Namun saya kira pertumbuhan rumah-rumah Tahfiz itu cukup positif dan harus disyukuri. Sebab semua itu akan jadi titik langkah awal untuk sampai ke jenjang pendidikan berikutnya.
Ibarat kata untuk ahli syariah itu seperti syarat menjadi dokter. Dokter itu harus lulus kuliah fakultas kedokteran. Dan tidak mungkin diterima di fakultas kedokteran, kecuali sudah lulus SMA, SMP dan SD.
Nah kita lagi membangun SD yang banyak dimana-mana. Tentu lulusan SD tidak boleh diberi gelar dokter. Sebab untuk jadi dokter dia harus meneruskan ke SMP 3 tahun, lalu SMA tiga tahun, lalu seleksi penerimaan masuk Fakultas Kedokteran.
Kalau diterima dan lancar kuliahnya, barangkali enam tujuh tahun kemudian sudah bisa jadi dokter. Tapi cuma dokter umum.
Kalau mau ambil spesialis, ya kuliah lagi. Dan kudu pilih spesialisasi apa.
Kurang lebih seperti itu juga jenjang pendidikan untuk melahirkan ahli syariah yang spesialis. Tapi harus diakui kita masih agak jauh, soalnya kita masih di tahap bikin SD.
Lulusannya sudah mulai ada, tapi saya belum punya data resmi, apakah lulusan SD ini pada meneruskan ke SMP SMA atau putus sekolah? Lalu puas dan berhenti sekedar jadi penghafal Quran dan merasa sudah jadi dokter?
Sangat boleh jadi mereka ingin meneruskan jenjang berikutnya, tapi terlanjur disibukkan dengan kegiatan, sehingga lupa meneruskan jenjang pendidikan.
Atau karena kita belum menyediakan fasilitas jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Artinya trend syariah Islam sudah merebak, sementara kita masih belum punya pakar dan ahli syariah.
Kalau diibaratkan, pasien sudah numpuk tapi kita tidak punya dokter, perawat, nakes dan tidak punya rumah sakit, obat, vaksin dan ventilator.
Padahal semakin hari pasien menumpuk, akibatnya semua terlantar.
Ibarat pemandangan mimpi buruk India tahun lalu saat pasien terlantar di jalanan.
Naudzubillahi min dzalik.
Sumber FB Ustadz : Ahmad Sarwat
14 Januari 2022 pada 06.16 ·