Bid'ah dari Segi Makna Syariat?
Oleh : Rahmat Taufik Tambusai
Jika pemahaman terhadap istilah-istilah dalam ajaran islam, hanya sampai kepada makna bahasa, maka akan kacau dan keliru dalam memahami syariat islam,
sholat, jika dipahami hanya sampai makna bahasa maka tidak ada lagi orang yang akan mendirikan sholat seperti yang dipahami dan dikerjakan selama ini,
Sholat secara bahasa bermakna الذكر : ingat, jika sampai makna bahasa saja yang dipahami, maka ketika azan dikumandangkan, cukup ingat Allah sejenak saja, tanpa niat, berdiri, rukuk, sujud, duduk dan salam,
Apabila memahaman seperti ini berkembang dan dikembangkan maka syariat islam akan rusak dan hancur,
Sedangkan sholat secara syariat adalah ucapan dan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Dan harus terpenuhi rukun dan syarat sahnya sholat.
Puasa, jika dipahami hanya sampai makna bahasa, maka tidak akan ada orang yang melaksanakan puasa seperti yang dipahami dan dikerjakan selama ini,
Puasa secara bahasa maknanya امساك : menahan, jika hanya sampai makna bahasa saja dipahami, maka tidak jelas, dari kapan dan sampai kapan menahannya, dari hal apa menahannya dan apa saja yang membuat menahan itu sah atau batalnya,
Jika tidak sampai kepada pemahaman dari segi syariat, bukan sekedar makna bahasa, maka dapat menyebabkan rancu dalam memahami syariat islam,
Akan muncul dan berkembang pemahaman menyimpang dan aliran-aliran sempalan ; mengatasnamakan islam tetapi pemahamannya jauh dari syariat islam yang dipahami mayoritas ulama.
Begitu juga dalam hal memahami bid'ah, jika dipahami hanya sampai makna bahasa, maka akan menyebabkan rancu dalam memahami hakikat bid'ah,
Bid'ah secara bahasa maknanya adalah sesuatu yang baru yang belum ada contoh sebelumnya,
Jika makna bahasa saja yang dipakai dalam memahami hakikat bid'ah, maka seluruh yang belum ada contohnya dari nabi maka semuanya dikategorikan bid'ah, baik urusan dunia maupun urusan agama, sebagai contoh seluruh peralatan modren ; mobil, pesawat, pistol, mikropon, percetakan al quran dll semuanya termasuk bid'ah.
Oleh sebab itu perlunya kita memahami bid'ah dari segi definisi syariat, agar memberikan pemahaman yang menyeluruh,
Karena definisi syariat yang dibuat oleh ulama merupakan hasil pengkajian mendalam dari hadits, ayat dan perkataan dan perbuatan para sahabat, tabi'in dan tabi'ut tabi'in,
Maka lahirlah suatu pemahaman yang baik tentang hakikat bid'ah, sebagaimana baiknya pemahaman kita terhadap sholat, puasa, haji, zakat dan yang lainnya,
Bid'ah menurut syariat adalah suatu amalan yang belum ada contoh dari nabi muhammad yang tidak bertentangan dengan syariat dan mempunyai landasan dalam al Quran dan sunnah.
Dari definisi ini dapat disimpulkan, bahwa apabila memenuhi tiga hal ini tidak dihukumi bid'ah yang diharamkan :
1. Tidak ada contoh dari nabi
2. Tidak bertentangan dengan syariat
3. Ada landasannya dalam Alquran dan sunnah
Sebagai contoh maulid nabi dengan model yang dilakukan pada masa kini, tidak pernah dicontohkan oleh nabi, tetapi inti dari maulid nabi tidak ada yang menyisihi dan bertentangan dengan syariat, malahan untuk menguatkan syariat dengan mengenalkan nabi, cinta kepada nabi dan menyampaikan syariat nabi, dan ada landasan dan tempat berpijaknya dalam al Quran dan sunnah, sebagaimana Allah berfirman :
قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُواْ هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ
Katakanlah: “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari segala apa yang mereka kumpulkan”. [QS. Yunus: 58]
Nabi muhammad merupakan rahmat paling agung yang Allah kirimkan untuk manusia dan sebagaimana dijelaskan dalam ayat lain :
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Tidaklah Kami mengutusmu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam [Al-Anbiyâ’/21:107].
Dan diperintahkan kita untuk berbahagia dengan rahmat tersebut, bentuk syukur kita atas nikmat islam dan iman, dan bentuk syukur diwujudkan dalam tausiah keagamaan dengan tema memperingati maulid nabi muhammad.
Dan nabi sendiri mewujudkan syukur atas kelahirannya dalam bentuk puasa senin dan ini juga landasan bagi mayoritas ulama membolehkan memperingati lahirnya nabi muhammad
ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ وَيَوْمٌ بُعِثْتُ أَوْ أُنْزِلَ عَلَىَّ فِيهِ
“Hari tersebut merupakan hari aku dilahirkan, dan hari aku diutus atau diturunkannya Alquran kepadaku pada hari tersebut.” (HR.Muslim).
Dan contoh yang lain ; memberi tanda baris dan tanda baca dalam Al Quran tidak pernah di contohkan oleh nabi,
Jika kita memahami bid'ah dari segi bahasa saja, maka perbuatan memberi tanda baris dan tanda baca pada Al Quran merupakan perkara bid'ah yang diharamkan, karena tidak dicontohkan oleh nabi.
Oleh sebab itu pahami bid'ah dari segi syariat agar kita tidak mudah memvonis sesuatu yang baru dihukumi bidah yang terlarang,
Coba bayangkan seandainya Alquran tidak diberi tanda baris dan tanda baca, maka mayoritas umat islam tidak ada yang akan mampu untuk membaca Al Quran,
Sedangkan mempelajari Al Quran wajib bagi setiap muslim mukallaf, maka sarana untuk memberi kemudahan untuk mempelajarinya menjadi wajib. Sesuai dengan kaidah usul fiqih ;
مَا لَا يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلَّا بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
Sesuatu yang menjadi syarat bagi sebuah kewajiban, maka hukumnya juga menjadi wajib.
Maka mayoritas ulama ahlussunah wal jamaah yang diawali oleh izzuddin abdussalam menjadikan bid'ah itu mengikuti hukum yang lima ; wajib, haram, sunnah
, makruh dan mubah.
Dan memberi tanda baris dan tanda baca Al Quran masuk ke dalam bid'ah wajib, karena wajib diberi baris dan tanda baca, sebab jika tidak diberi tanda baris dan tanda baca berakibatkan rusaknya agama dan syariat islam.
Membiarkan agama ini rusak merupakan perbuatan haram dan dosa besar, maka sarana untuk menjaganya menjadi wajib walaupun belum ada contoh dari nabi muhammd, selama tidak bertentangan dengan syariat dan ada landasannya dalam al Quran dan sunnah serta ijma ulama, maka itu boleh dikerjakan.
Bid'ah yang haram adalah tidak ada contoh, bertentangan dengan syariat, tidak ada pijakan dalam Al Quran dan sunnah dan merusak agama islam serta mayoritas ulama menyatakan perbuatan tersebut haram dan sesat.
Jika perkara tersebut masuk ke dalam kategori khilafiyah maka tidak layak membid'ahkan pelakunya dengan bid'ah sesat dan memvonisnya ahli neraka dan kafir.
Karena jika tidak benar menurut Allah maka vonis tersebut kembali kepada yang menghukuminya,
Mayoritas Ulama sangat hati-hati dalam menghukumi sesuatu itu dengan bid'ah haram dan sesat. Karena mereka memahami bid'ah dengan baik, bukan hanya dari segi makna bahasa saja.
Yuk Umroh 2022 ✈🐪🌙 yang minat hubungi kami
Dalu - dalu 6 Januari 2021
Sumber FB Ustadz : Abee Syareefa
6 Januari 2022 pada 14.23 ·