Tidak Selalu, “Kalau Tidak Sunnah Berarti Bid’ah…”
Sebenarnya sangat banyak hadits, baik qauliy, fi’liy maupun taqririy, yang mengajarkan kita untuk bijak dalam melihat perbedaan. Bukan hanya hadits, contoh dari para sahabat, tabi’in dan para ulama yang lain juga bisa menjadi suluh bendang dalam kegelapan pertikaian dan polemik yang kerap terjadi.
Hanya sayangnya, kita sering abai atau pura-pura tidak melihat pesan yang sangat jelas itu. Ketika mensyarah sebuah hadits, perhatian kita terpusat pada sisi hukum fiqihnya saja ; hadits ini menjelaskan bahwa perbuatan A adalah haram, atau perbuatan B adalah wajib dan berdosa jika tidak dikerjakan.
Menjabarkan sebuah hadits hanya melihat aspek hukumnya saja akan membuat kajian hadits terasa gersang. Yang lebih parah, kita jadi lengah dari banyakpelajaran dan hikmah yang memiliki dimensi sosial, psikologis, humanis dan sebagainya, yang boleh jadi jauh lebih penting dari dimensi hukumnya.
Dalam menjelaskan hadits di bawah ini, beberapa situs yang saya cek hanya memusatkan perhatian pada sisi hukum fiqihnya saja. Akibatnya pesan, yang menurut saya paling menonjol dari hadits ini, menjadi terabaikan. Pesan bagaimana menyikapi perbedaan, bagaimana merespon kesalahan, bagaimana berbahasa yang santun dan sebagainya. Dan yang tak kalah penting juga, pesan bahwa tidak semua lawan dari sunnah adalah bid’ah.
***
Imam Abu Dawud meriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudriy ra :
“Ada dua orang pergi dalam sebuah perjalanan. Ketika waktu shalat masuk mereka tidak menemukan air. Akhirnya kedua orang ini bertayammum. Lalu mereka shalat. Selesai shalat ternyata mereka menemukan air. Salah seorang dari keduanya mengulang shalatnya. Sementara yang satu lagi tidak.
Sesampai di Madinah mereka menceritakan apa yang mereka lakukan pada Rasulullah Saw.
Untuk orang yang tidak mengulang shalatnya Rasul bersabda :
أَصَبْتَ السُّنَّةَ، وَأَجْزَأَتْكَ صَلَاتُكَ
“Yang engkau lakukan sudah sesuai sunnah, dan shalatmu sah.”
Sementara untuk orang yang mengulang shalatnya, apakah Rasul akan mengatakan bahwa ia telah menyalahi sunnah? Bukankah dalam logika sebagian orang saat ini kalau tidak sunnah berarti bid’ah?
Perhatikan komentar Sang Guru yang sangat bijak dan sayang pada umatnya :
لَكَ الْأَجْرُ مَرَّتَيْنِ
“Engkau dapat pahala dua kali.”
***
Kelembutan Ini diwarisi oleh para sahabat yang mulia. Meski kadang mereka ‘kesal’ dengan sikap sebagian orang yang seolah-olah mencari-cari alasan untuk tidak mengikuti sunnah, tapi mereka tetap sabar dan berbahasa dengan santun.
Zubair bin ‘Arabiy ra menceritakan, “Ada seorang laki-laki bertanya kepada Ibnu Umar tentang mengusap hajar aswad. Ibnu Umar ra berkata: “Saya melihat Rasulullah Saw mengusap dan menciumnya.”
Laki-laki itu bertanya, “Bagaimana kalau keadaannya sesak dan padat? Bagaimana kalau aku diselip orang?”
Dengan sabar Ibnu Umar menjawab, “Tinggalkan saja kalimat ‘bagaimana kalau…’ itu di Yaman. Yang jelas aku melihat Rasulullah Saw mengusap dan mencium hajar aswad.”
***
Seorang tabi’in bernama Ismail bin Umayyah mendengarkan hadits dari az-Zuhri, dari Nafi’, dari Ibnu Umar ra, ia berkata: “Nabi Saw shalat dua rakaat setiap selesai thawaf.”
Kemudian Ismail berkata kepada az-Zuhri, “’Atha` (seorang ulama tabiin) mengatakan cukup shalat fardhu saja (tidak perlu shalat dua rakaat thawaf).”
Mendengarkan sanggahan dari Ismail bin Umayyah ini, az-Zuhri hanya berkata: “Sunnah lebih utama”
***
Bahkan ketika seseorang tampak jelas berbeda dengan sunnah, mereka masih menjaga kalimat yang keluar dari mulut mereka. Kalimat-kalimat seperti, “Menentang sunnah…” “Menyelisihi sunnah…” rasanya tidak ada dalam kamus pembicaraan mereka.
Suatu ketika Urwah bin Zubair ra menyampaikan hadits dari Sayyidah Aisyah ra tentang tata cara shalat sunnat kusuf yaitu dua rakaat dengan empat rukuk dan empat sujud.
Az-Zuhri yang mendengarkan hadits ini dari Urwah berkata, “Apa yang engkau jelaskan itu tidak dilakukan oleh saudaramu sendiri ; Abdullah bin Zubair ketika ia shalat kusuf di Madinah.”
Mendengar ‘sanggahan’ az-Zuhri ini, Urwah berkata :
أَجَلْ إِنَّهُ أَخْطَأَ السُّنَّةَ
“Memang benar, tapi ia (Abdullah bin Zubair) tidak sesuai dengan sunnah.”
***
Perbedaan memang tak bisa dihindari, tapi bahasa tetaplah cerminan diri.
Kalau isinya bersih, yang keluar juga bersih. Tapi kalau sudah dari dalamnya kotor, maka yang tampak keluar juga akan kotor.
كُلُّ إِنَاءٍ بِمَا فِيْهِ يَنْضَحُ
Setiap bejana akan mengeluarkan isinya masing-masing.
[YJ]Tidak Selalu, “Kalau Tidak Sunnah Berarti Bid’ah…”
Sebenarnya sangat banyak hadits, baik qauliy, fi’liy maupun taqririy, yang mengajarkan kita untuk bijak dalam melihat perbedaan. Bukan hanya hadits, contoh dari para sahabat, tabi’in dan para ulama yang lain juga bisa menjadi suluh bendang dalam kegelapan pertikaian dan polemik yang kerap terjadi.
Hanya sayangnya, kita sering abai atau pura-pura tidak melihat pesan yang sangat jelas itu. Ketika mensyarah sebuah hadits, perhatian kita terpusat pada sisi hukum fiqihnya saja ; hadits ini menjelaskan bahwa perbuatan A adalah haram, atau perbuatan B adalah wajib dan berdosa jika tidak dikerjakan.
Menjabarkan sebuah hadits hanya melihat aspek hukumnya saja akan membuat kajian hadits terasa gersang. Yang lebih parah, kita jadi lengah dari banyakpelajaran dan hikmah yang memiliki dimensi sosial, psikologis, humanis dan sebagainya, yang boleh jadi jauh lebih penting dari dimensi hukumnya.
Dalam menjelaskan hadits di bawah ini, beberapa situs yang saya cek hanya memusatkan perhatian pada sisi hukum fiqihnya saja. Akibatnya pesan, yang menurut saya paling menonjol dari hadits ini, menjadi terabaikan. Pesan bagaimana menyikapi perbedaan, bagaimana merespon kesalahan, bagaimana berbahasa yang santun dan sebagainya. Dan yang tak kalah penting juga, pesan bahwa tidak semua lawan dari sunnah adalah bid’ah.
***
Imam Abu Dawud meriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudriy ra :
“Ada dua orang pergi dalam sebuah perjalanan. Ketika waktu shalat masuk mereka tidak menemukan air. Akhirnya kedua orang ini bertayammum. Lalu mereka shalat. Selesai shalat ternyata mereka menemukan air. Salah seorang dari keduanya mengulang shalatnya. Sementara yang satu lagi tidak.
Sesampai di Madinah mereka menceritakan apa yang mereka lakukan pada Rasulullah Saw.
Untuk orang yang tidak mengulang shalatnya Rasul bersabda :
أَصَبْتَ السُّنَّةَ، وَأَجْزَأَتْكَ صَلَاتُكَ
“Yang engkau lakukan sudah sesuai sunnah, dan shalatmu sah.”
Sementara untuk orang yang mengulang shalatnya, apakah Rasul akan mengatakan bahwa ia telah menyalahi sunnah? Bukankah dalam logika sebagian orang saat ini kalau tidak sunnah berarti bid’ah?
Perhatikan komentar Sang Guru yang sangat bijak dan sayang pada umatnya :
لَكَ الْأَجْرُ مَرَّتَيْنِ
“Engkau dapat pahala dua kali.”
***
Kelembutan Ini diwarisi oleh para sahabat yang mulia. Meski kadang mereka ‘kesal’ dengan sikap sebagian orang yang seolah-olah mencari-cari alasan untuk tidak mengikuti sunnah, tapi mereka tetap sabar dan berbahasa dengan santun.
Zubair bin ‘Arabiy ra menceritakan, “Ada seorang laki-laki bertanya kepada Ibnu Umar tentang mengusap hajar aswad. Ibnu Umar ra berkata: “Saya melihat Rasulullah Saw mengusap dan menciumnya.”
Laki-laki itu bertanya, “Bagaimana kalau keadaannya sesak dan padat? Bagaimana kalau aku diselip orang?”
Dengan sabar Ibnu Umar menjawab, “Tinggalkan saja kalimat ‘bagaimana kalau…’ itu di Yaman. Yang jelas aku melihat Rasulullah Saw mengusap dan mencium hajar aswad.”
***
Seorang tabi’in bernama Ismail bin Umayyah mendengarkan hadits dari az-Zuhri, dari Nafi’, dari Ibnu Umar ra, ia berkata: “Nabi Saw shalat dua rakaat setiap selesai thawaf.”
Kemudian Ismail berkata kepada az-Zuhri, “’Atha` (seorang ulama tabiin) mengatakan cukup shalat fardhu saja (tidak perlu shalat dua rakaat thawaf).”
Mendengarkan sanggahan dari Ismail bin Umayyah ini, az-Zuhri hanya berkata: “Sunnah lebih utama”
***
Bahkan ketika seseorang tampak jelas berbeda dengan sunnah, mereka masih menjaga kalimat yang keluar dari mulut mereka. Kalimat-kalimat seperti, “Menentang sunnah…” “Menyelisihi sunnah…” rasanya tidak ada dalam kamus pembicaraan mereka.
Suatu ketika Urwah bin Zubair ra menyampaikan hadits dari Sayyidah Aisyah ra tentang tata cara shalat sunnat kusuf yaitu dua rakaat dengan empat rukuk dan empat sujud.
Az-Zuhri yang mendengarkan hadits ini dari Urwah berkata, “Apa yang engkau jelaskan itu tidak dilakukan oleh saudaramu sendiri ; Abdullah bin Zubair ketika ia shalat kusuf di Madinah.”
Mendengar ‘sanggahan’ az-Zuhri ini, Urwah berkata :
أَجَلْ إِنَّهُ أَخْطَأَ السُّنَّةَ
“Memang benar, tapi ia (Abdullah bin Zubair) tidak sesuai dengan sunnah.”
***
Perbedaan memang tak bisa dihindari, tapi bahasa tetaplah cerminan diri.
Kalau isinya bersih, yang keluar juga bersih. Tapi kalau sudah dari dalamnya kotor, maka yang tampak keluar juga akan kotor.
كُلُّ إِنَاءٍ بِمَا فِيْهِ يَنْضَحُ
Setiap bejana akan mengeluarkan isinya masing-masing.
[YJ]
Sumber FB Ustadz : Yendri Junaidi
10 Desember 2021