Menulis
Dari seribu ustadz yang pandai berceramah secara lisan, satu dua ada juga yang pandai menyampaikan dengan tulisan.
Kenapa yang menulis jauh lebih sedikit ketimbang yang ceramah lisan?
Karena kemampuan dasar kita memang bicara. Kemampuan yang sudah terasah sejak kecil bahkan.
Sehingga salah satu kriteria anak cerdas itu kita kenali dari banyak bicara, pandai menyampaikan isi pikirannya, terampil dan tidak kaku, tidak kikuk serta tidak terbata-bata,
Sedangkan kemampuan menulis itu datangnya belakangan. Ketika mulai sekolah SD barulah kita mulai dikenalkan dengan baca tulis.
Maksudnya 95 persen baca dan 5 persen itu menulis. Menulis disini maksudnya lebih kepada menyalin tulisan. Sedangkan kemampuan bertutur secara tulisan, porsinya kecil sekali, tinggal 1 persen saja.
oOo
Makanya Saya tidak percaya kalau kemampuan menulis itu semata-mata karena bakat. Mereka yang punya karya tulis itu bukan karena bakatnya, tapi karena banyak tulisannya.
Berbakat atau tidak berbakat itu penilaian yang subjektif saja.
Yang saya percaya adalah stimulan, yaitu kondisi yang membuat anak itu terpaksa atau terbiasa menyampaikan isi kepalanya lewat tulisan.
Kenapa anak-anak pantai itu jago berenang, menyelam dan berselancar di ombak? Karena mereka memang hidup di pantai. Kepintaran mereka bukan karena bakat tapi karena faktor lingkungan.
Kenapa anak-anak di Inggris dan Amerika pinter ngomong Inggris? Karena mereka tinggal di negara yang semuanya berbahasa Inggris. Kemampuan bahasa mereka bukan karena bakat tapi karena lingkungan.
Kenapa di Jepang orang bisa tertib tidak buang sampah sembarangan? Mabok pun masih bisa bedakan mana sampai organik dan bukan organik, dan tidak salah ketika masukkan ke tempat sampah? Apakah karena bakat?
Jawabnnya pasti tidak. Tapi karena lingkungannya membuat mereka demikian. Maka WNI kita di Jepang pun otomatis pintar-pintar, buang sampah pasti di tempatnya.
Cuma kalau sudah pulang ke Indonesia, kebiasaan buruknya muncul lagi. Dan itu tidak sebatas WNI saja ya. Orang Jepangnya pun kalau kelamaan di Indonesia, akan buang sampah sembarangan juga.
Siapa bilang tertib buang sampah karena faktor bakat? Bukan bakat tapi lingkungan.
oOo
Maka intinya bagaimana menciptakan lingkungan yang aktif menulis. Dan itu bisa dimulai dari hal-hal kecil saja, seperti ulangan di sekolah.
Ulangan model multiple choise itu hanya menguntungkan guru, karena faktor mengoreksinya gampang dan cepat. Anak-anak hanya tinggal mencontreng saja, tidak menguras kemampuan mereka dalam menyampaikan isi pesan yang ada di kepalanya. Ulangan model ini ikut menggagalkan kemampuan anak dalam nenulis.
Sedangkan soal model essay itu memang bikin kerjaan saja ketika mengoreksi. Tapi untuk itulah para guru digaji. Coba baca tulisan anak didik anda sendiri, koreksi dan berikan masukan-masukan yang positif untuk karya tulis mereka.
Jangan matikan skill menulis mereka. Dalam hal ini saya setuju bahwa nilai itu tergantung panjangnya tulisan di kertas jawaban. Tidak apa-apa, ngarang saja dulu.
Urusan benar salahnya, suruh aja mereka perbaiki kertas ulangannya. Cukup dikoreksi, kasih tanda mana yang harus diperbaiki. Kembalikan kertas ulangan itu, suruh perbaiki di rumah. Buka saja buku pelajaran dan contek saja. Tapi bahasanya harus dari kalian, bukan disalin apa adanya.
Namun yang terjadi sekarang ini tidak demikian. Arah pendidikan kita malah menjauh dari menggali kemampuan anak menulis.
Sudah tulisan tangannya ceker bebek dan hancur, bahasa tulisannya amburadul, tambah satu lagi, ternyata jawabannya pun salah.
Saya kok melihat betapa anak-anak kita hampir tidak pernah diberi stimulan untuk menulis. Dan akhirnya tidak menulis, lalu diklaim bahwa anak kita memang tidak punya bakat menulis. Padahal bakatnya ada, tapi tidak digali, tidak disalurkan, bahkan secara sistematis dan terstruktur sengaja dimatikan. Seolah-olah menulis itu najis tralalala.
Dulu di zaman SD bahkan SMP saya masih ingat bahwa salah satu bentuk kegiatan belajar yang utama adalah menyalin tulisan.
Kadang satu murid maju ke depan untuk menyalin tulisan di buku ke papan tulis lalu kita menyalin tulisan di papan tulis pada buku masing-masing. Yang sudah selesai, dikasih nilai oleh pak guru.
Saya heran kenapa model pengajaran hari ini sepertinya kurang memperhatikan aspek tulis menulis ini. Seolah-olah menulis itu benda najis mughallazhah yang kudu dicuci 7 kali salah satunya dengan tanah. Sejajar dengan anjing dan babi.
Selain tulisan tangan anak-anak kita jadi ceker bebek, jua mereka tidak pernah mampu menyampaikan isi kepala lewat tulisan.
oOo
Begitu terus sampai jadi doktor dan profesor, tetap saja tidak produktif menulis. Apalagi jadi dokter, malah ikut aliran sesat bahwa dokter itu tulisannya harus jelek.
Menuliskan nama obat yang hanya dua tiga kata saja, tulisannya tidak bisa dibaca. Apalagi disuruh menuliskan ilmunya tentang berbagai macam penyakit dan upaya manusia dalamenyembuhkannya.
Dokter itu pintar banget. Kalau nggak pintar gak mungkin jadi dokter. Tapi saya nyaris tidak pernah ketemu dokter yang pandai menulis.
Bukan dalam urusan keindahan tulisan di kertas, tapi kemampuan bertutur lewat tulisan.
oOo
Dari seribu dokter yang pandai berpraktek mengobati pasien, hanya ada satu dua dokter yang rajin menulis. Salah satunya pak ustadz dokter Alim sahabat saya.
Di FB nya beliau sering menulis, meski tidak harus selalu materi kedokteran. Kadang posting foto makanan, kadang juga foto horor mesin-mesin rumah sakit tempatnya bekerja.
Sejak ada pandemi saya jadi aktif kontak-kontakan dengan beliau. Hanya via FB saja. Belum berani copy darat karena pandemi.
Beliau banyak baca tulisan saya terkait masalah hukum fiqih syariah. Saya pun banyak baca tulisan terkait kesehatan. Sesekali kita video call atau teleponan.
Seandainya saya tidak menulis, pastilah beliau tidak kenal saya. Dan seandainya beliau tidak menulis, saya pun pasti tidak kenal. Soalnya saya di Jakarta dan beliau di Jogja.
oOo
Menulis itu bukan hanya mengikatkan ilmu, tapi juga membangun komunikasi dan jaringan yang lebih luas.
Apalagi di masa sekarang. Tulisan bisa langsung di-posting di media sosial macam FB. Tidak butuh penerbit, tidak perlu proses jadi buku. Tulis sekarang, pubslih pun sekarang.
Kalau ada salah ketik atau salah konten, tinggal diedit ulang saja.
Serunya, apa yang baru 1 menit dipublish, tiba-tiba yang baca sudah puluhan, bahkan ratusan. Bahkan yang komen pun bejibun.
Sayangnya, tidak semua medsos memberi ruang untuk menulis sebagaimana FB. IG bisa untuk menulis, tapi ruangnya amat terbatas. IG itu lebih cocok buat foto-foto yang diberi komen.
Begitu juah Twitter, cocoknya sekedar bercuit-cuit saja. Bukan untuk menyampaikan pikiran dalam wujud tulisan.
oOo
Kalau saya buka pesantren, maka akan saya wajibkan santri menulis setiap hari satu judul materi. Walaupun hanya lima enam paragraf, tapi mereka kudu dibiasakan menulis.
Bahannya?
Bahannya jelas, yaitu apa saja yang sudah setiap hari mereka pelajari. Buktikan bahwa anda sudah belajar materi itu dengan cara menyampaikan kembali secara tertulis.
Di Rumah Fiqih Indonesia, menulis itu syarat untuk bergabung. Mau gabung? Mana karyamu?
Semua tulisan itu kudu dipublish. Saya buatkan halaman web khusus dengan alamat rumahfiqih.com/pdf
Selamat membaca, eh menulis. Sampai sekarang sudah ada 359 buku.
NOTE
Gobloknya, buku ditulis dan diterbitkan dalam bentuk pdf untuk dibagikan gratis. Kok ada saja orang sinting malah membajaknya dan menjualnya.
Sumber FB Ustadz : Ahmad Sarwat
24 Agustus 2021·