ANTARA TAUHID TIGA DENGAN RUMUSAN 20 SIFAT WAJIB BAGI ALLAH
Pembagian tauhid menjadi tiga adalah murni hasil ijtihad Ibn Taimiyah rahimahullah yang kemudian diagung-agungkan oleh pengikutnya, bahkan dianggap sebagai mizan tauhid seseorang. Bukti bahwa pembagian ini ijtihadi adalah ketiadaan pembagian ini dalam al-Qur'an dan as-Sunnah dan juga kalam salaf kecuali takalluf [memaksakan pemahaman]. Buktinya lagi, ternyata pengagung tri tauhid masih berbeda pendapat antara apakah pembagian itu murni ijtihad atau merupakan rumusan istilah dari nash agama yang qath'i (seperti pembagian kalimat menjadi isim, fi'il dan huruf).
Menurut saya, ijtihad diatas tetaplah ijtihad sebagaimana ijtihad yang lain, dalam arti bisa diterima dan bisa ditolak. Dan secara ilmiah, pembagian tauhid menjadi tiga sudah bermasalah. Tetapi yang paling bahaya dari pembagian tersebut adalah potensi digunakannya sebagai tolok ukur kafir dan tidaknya seseorang. Dan faktanya adalah seperti yang kita lihat, yaitu bermudah-mudahan dalam mengkafirkan dalam perkara ijtihadiyah atau khilafiyah.
Sedangkan rumusan sifat wajib 20, walaupun methode rumusannya juga ijtihad ulama', tetapi isi rumusannya adalah ijma' ulama'. Dalam arti, sifat-sifat Allah yang terkandung dalam sifat 20 semua berdasarkan dalil qath'i.Terbukti inkar salah satu sifat saja, maka dia keluar dari Islam.
Pembagian tauhid tiga juga tidak bisa disandingkan dengan pembagian sifat wahdaniyah Allah menurut Asy'ariyah-Maturidiyyah yang membagi menjadi wahdaniyah fi-dzat, wahdaniyah fi-sifat, dan wahdaniyah fi-af'al. Alasannya, walaupun methode rumusannya juga hasil pemahaman atau ijtihad ulama', tapi isi atau kontennya juga haq dan disepakati, sehingga ingkar salah satunya juga bentuk kekufuran atau paling tidak kesesatan. Misal mengakui adanya dzat lain selain Allah (wahdaniyah fi dzat), atau meyakini ada pencipta/pelaku lain selain Allah (wahdaniyah fi af'al), atau meyakini dzat Allah terdiri dari beberapa juz atau bagian (wahdaniyah fi dzat), atau menganggap selain Allah memiliki sifat sama seperti Allah (wahdaniyah fi sifat) dan lain-lain.
Nah, itu semua berbeda dengan tauhid tiga, walaupun sebagian isinya haq atau benar, tapi seluruh kandungannya tidak bisa mutlak dibenarkan. Misal:
1. Menganggap yang bertauhid rububiyah belum tentu bertauhid uluhiyah. Klaim ini tidak bisa diterima, karena jika seseorang meyakini rububiyah Allah secara absolut, maka dipastikan dia akan menetapkan Allah sebagai dzat yang haq untuk disembah (uluhiyah).
2. Menganggap orang kafir di masa para nabi sudah bertauhid rububiyah. Klaim ini juga tidak bisa diterima, sebab tidak semua orang mengakui Allah sebagai pencipta (atheis atau dahriyah) juga bahwa ada sebagian orang kafir yang mengakui Allah (iqrar) sebagai pencipta tidak sepenuhnya mengakui sifat-sifat rububiyah Allah secara mutlak, seperti masih mengingkari kiyamat, kebangkitan dari kubur dan lain-lain, sehingga tetap saja tidak dianggap bertauhid rububiyah.
3. Terma "uluhiyah" sebagai nama tauhid juga masalah tersendiri. Mengapa tidak menggunakan terma "tauhid ilahiyah"?
4. Konsep tauhid asma wa sifat juga bermasalah. Mengapa disebut tauhid bukan iqrar? Lalu kontennya juga ada masalah, misal adakah nash Allah istiqrar? Allah julus? Allah berjihah atas? Allah memiliki tempat diatas sana? Apakah harus itsbat makna zhahir lughowi? Dan lain-lain yang jelas-jelas tidak bisa diterima oleh semua kalangan.
Sampai sini sudah paham?
Sumber FB Ustadz : Hidayat Nur
22 Agustus 2021