ALLAH DIATAS?
Asy'ariyah muta'akhirin menafikan jihah uluw [arah atas] bagi Allah. Artinya uluw dan fauqiyah Allah yang disebutkan dalam beberapa nash dimaksudkan bukan uluw secara hissi [ketinggian secara inderawi atau fisikal], tapi uluw ma'nawi atau uluw yang dita'wil dengan martabah atau makanah [tinggi kedudukan]. Sementara Asy'ariyah mutaqaddimin menetapkan uluw dan fauqiyah Allah tanpa ta'wil, tetapi mereka tidak pernah menyebut Allah dalam jihah uluw atau tinggi secara hissi.
Ulama' Hanbali mutaqaddimin tidak menetapkan jihah juga tidak menafikannya, begitu juga Imam Ahmad bin Hanbal, tetapi mereka menetapkan uluw dan fauqiyah Allah tanpa ta'wil sebagaimana Asy'ariyah mutaqaddimin. Sementara ulama' Hanbali muta'akhirin menetapkan jihah uluw bagi Allah, tetapi mereka juga mensucikan semua atribut jisim seperti masafah, had, kaifiyah, tinggi secara inderawi dan lain-lain.
Karena itu, bagi sebagian ulama', khilaf antara mereka [Asy'ariyah dan Hanabilah baik mutaqaddimin atau muta'akhirin] bukan khilaf haqiqi [khilaf sesungguhnya], tapi hanya khilaf lafzhi saja. Dan saya setuju itu. Artinya, mereka tegar dalam mentanzih atau mensucikan Allah dari tasybih dan tajsim dan juga tidak menta'thil atau menihilkan uluw Allah dan fauqiyah-Nya.
Sekarang bagaimana dengan pendaku Salafi? Sekilas akidah mereka tampak selaras dengan Asy'ariyyah mutaqaddimin atau Hanbali [mutaqaddimin atau khususnya muta'akhirin] atau bahkan nash-nash ulama' salaf. Jawabnya adalah tidak sama. Ingat tidak sama. Itulah yang ditegaskan ulama' Hanbali kontemporer, Syaikh Musthofa Hamdu Ulayyan al-Hanbali. Kenapa? Karena Salafi Wahabi yang menetapkan jihah uluw bagi Allah juga menetapkan atribut tasybih seperti ini:
1. Menetapkan masafah atau jarak secara inderawi bagi Allah, yaitu jarak antara arsy dan Allah. Terbukti mereka meyakini pendapat yang menyatakan bahwa yang diatas gunung lebih dekat kepada Allah daripada yang dibawah secara fisik.
2. Menetapkan jihah secara inderawi atau fisikal tanpa mensucikan Allah dari atribut jisim seperti memiliki had [sisi/batas bagi Allah], meyakini Allah memiliki tempat diatas sana, meyakini Allah turun dan naik secara fisikal dari atas kebawah, Allah berpindah dari satu keadaan ke keadaan yang lain, dan lain-lain.
3. Meyakini Allah diatas arsy dengan kaifiyah-nya yang padahal ini kekhususan bagi makhluk.
Dan sekedar mengingatkan, bahwa Salafi Indonesia sering mentahrif ucapan ulama' salaf "bila kaif" dengan diterjemah "tidak boleh menanyakan mengapa?". Ini adalah ketidak jujuran atau bentuk khiyanat ilmiyah tetapi dilakukan oleh mereka dimana-mana [bisa cek terjemah-terjemah mereka].
Jika ada Salafi Wahabi yang menetapkan jihah uluw tapi menafikan semua atribut tajsim dan tasybih seperti yang telah disebutkan, maka dipastikan dia bukan lagi Salafi Wahabi tulen.
Dan jika ada pengikut Asy'ariyah yang meyakini bahwa Allah ada dimana-mana, maka dipastikan ia telah keluar dari akidah yang haq.
Sampai sini sudah faham?
Sumber FB Ustadz : Hidayat Nur
Kajian · 18 Agustus 2021·