= Gerilia Wahabi Pendaku Salafi =
Ketua takmir masjid yang saya singgahi beberapa hari lalu mengadu kepada saya, bahwa ada seorang 'ustat' melihat-lihat jadwal penceramah serta khatib di masjid tersebut.
Si ustat kemudian mendatangi beliau, mencak-mencak, "Bapak! Siapa yang menyusun penceramah dan khathib di masjid ini? Tak tahukah bapak betapa berat pertanggungjawabannya di akhirat?!"
"Bapak tahu tidak? Ustad fulan ini, dia pro demo! Tak taat ulil amri! Sedangkan ustadz Habib, ini pro tasawuf dan membela tarekat! Bertakwalah kepada Allah!"
Sang ketua takmir dengan tenang menjawab terkait demo, bahwa nasihat untuk pemimpin adalah sesuatu yang masyru', juga memiliki dalil yang kuat, jadi jangan merasa benar sendiri.
Terkait tahzir si ustat terhadap saya, bapak pengurus kemudian menjawab, "Apa yang salah dari kajian ustaz Habib? Kalau ada, silakan ustat duduk, dengarkan kajian beliau, dan sampaikan langsung yang kurang berkenan. Jangan seperti ini, merasa benar sendiri tetapi menikam dari belakang!"
Bapak pengurus yang bercerita kepada saya agak mengatur nafas juga saat bercerita, mengontrol emosi. Saya yang mendengar cuma bisa tersenyum. Kok ada ya yang begitu di bulan puasa?
***
Ada beberapa hal yang saya tangkap dari cerita ketua takmir masjid tersebut.
PERTAMA, tingkat ke-PD-an kawan-kawan kita yang salafi ini sudah terlampau tinggi, sehingga ia selalu mengancam orang lain dengan pengadilan akhirat, seolah mereka sudah dijamin selamat pada hari kiamat. Tak sadarkah mereka bahwa ancaman Allah di dalam QS. Ali Imran : 7 tentang orang yang di hatinya ada kesesatan itu begitu cocok bagi mereka?
KE DUA, tingkat ilmu dan wawasan mereka yang begitu lemah. Kita tak akan nafikan adanya praktek tarikat yang melenceng, yang dibahasakan oleh Buya Arrazy Hasyim sebagai Thariqah Azaziliyyah, bahkan saya juga ikut ambil bagian untuk meluruskannya.
Tapi tidakkah mereka paham, bahwa tasawuf adalah ihsan yang merupakan sepertiga agama? Tidakkah mereka tahu, bahwa tarekat adalah madrasah pendidikan spiritual, timbangannya seperti mazhab dalam fikih. Tidakkah mereka sadar, bahwa Islam masuk ke Indonesia melalui jalur tarikat yang beretika dan beradab? Bukan pedang dan peperangan? Kakek Buya Hamka saja, Syaikh Amarullah, adalah seorang mursyid tarekat. Cucunya kemudian berusaha mengejawantahkan nilai-nilai tasawuf dalam dakwahnya, dengan gaya moderen.
Doktrin anti tasawuf itulah yang barangkali membuat mereka bersyukur atas wafatnya Abuya Tengku Zulkarnain. Saya belum lagi menghitung ujaran jahat mereka baik di atas mimbar maupun dalam forum nonformal. Jauh dari akhlak, tapi PD merepresentasikan salaf. Hasbunallah.
KE TIGA, mengapa mereka tak bisa membedakan antara pemberontakan dan unjuk rasa? Apakah setiap ekspresi pikiran dan perasaan akan mereka cap sebagai tanda bughat dan khawarij? Tak tahukah mereka bahwa ciri khas khawarij adalah mereka arahkan kepada umat Islam ayat-ayat yang sejatinya ditujukan untuk orang kafir. Dan tanda ini tampak zahir pada mereka!
Kawan-kawan bisa lihat, di Indonesia mereka ribut dengan label sunah-bidah, yang mereka serang dalam dakwah justru orang yang sudah saleh dan baik. Mereka malah sibuk nahi ma'ruf, sedangkan Islam mengajarkan nahi mungkar. Pada taraf internasional, bisa kita lihat isis yang sibuk 'berjihad' di Suriah, Yaman dan negara-negara Islam lainnya, namun diam saja dengan tragedi kemanusiaan di Palestina, Uighur, Myanmar ataupun Afrika Tengah.
KE EMPAT, tak beranikah mereka datang, tabayun, kemudian berdialog, sehingga mereka harus bergerilya memeriksa kajian-kajian yang ada di masjid, kemudian mencak-mencak kepada takmir. Syukur, pengurus masjid bercerita kepada saya. Ini yang saya tahu. Bagaimana dengan pengurus masjid yang tak punya pondasi sunni yang kokoh? Lalu, sudah di berapa masjidkah kawan-kawan kita ini beraksi?
Allahul musta'an.
Semoga Allah jauhkan kita dari manhaj neo-kawarij+murjiah+mujassimah+musyabbihah.
Semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi lebih baik..
***
Untuk asatidz, buya, ulama sunni, khususnya di Sumatera Barat. Tak perlulah kita 'pura-pura' tidak tahu dengan bahaya paham wahabi ini. Jika tak mau ambil barisan untuk meluruskan mereka, maka setidaknya ikutlah mendoakan. Meluruskan penyimpangan itu bagi kita hukumnya fardu kifayah, saya hanya mau ingatkan.
Tulisan ini sejatinya mau saya simpan hingga setelah lebaran. Namun melihat tingkah mereka di sosial media dalam menyikapi wafatnya Tengku Zulkarnain, tak patut rasanya saya menahan maklumat yang harus diketahui oleh umat Islam Indonesia. Sampaikan (tabligh), jangan sembunyian (kitman)!
Sumber FB Ustadz : Fakhry Emil Habib
12 Mei 2021