Pembatal Puasa : Makan Minum (2)

Pembatal Puasa : Makan Minum (2) - Kajian Islam Tarakan

31. Pembatal Puasa : Makan Minum (2)

MARHABAN YA RAMADHAN

11 Ramadhan 1442 H - 23 April 2021

Oleh: Isnan Ansory

2) Sesuatu Masuk Ke Dalam Tubuh Melalui Rongga Badan Selain Tenggorokan

Adapun masuknya sesuatu ke dalam rongga tubuh selain tenggorokan, dalam hal ini para ulama tidak satu suara terkait apakah hal itu membatalkan puasa atau tidak. 

Persoalan ini setidaknya dapat dibedakan menjadi dua masalah: (1) Masuknya sesuatu ke dalam tubuh melalui selain rongga tenggorokan untuk maksud sebagai asupan makanan, dan (2) Masuknya sesuatu ke dalam tubuh melalui selain rongga tenggorokan bukan untuk maksud sebagai asupan makanan.

a) Masuknya Benda Melalui Rongga Tubuh Selain Tenggorokan 

Dengan Tujuan Sebagai Asupan Makanan 

Untuk persoalan ini, para ulama umumnya sepakat bahwa masuknya suatu benda ke dalam tubuh, jika dimaksudkan sebagai asupan makanan dan nutrisi, meskipun tidak masuk melalui tenggorokan dan masuk dari anggota tubuh manapun, maka hal itu dapat membatalkan puasa. 

Seperti dimasukkanya zat gizi ke dalam tubuh pasien sakit yang tidak mampu memenuhi kebituhan nutrisi melalui oral. Seperti pemberian nutrisi melalui parenteral, yaitu pemberian nutrisi berupa cairan infus yang dimasukkan ke dalam tubuh melalui saluran darah vena. Ataupun melalui enteral yang biasanya dimasukkan melalui hidung menggunakan pipa NGT (Nasogastric Tube), yang biasanya terbuat dari karet, plastik, atau silik. 

Adapun dasar dalam batalnya puasa karena sebab di atas adalah kaidah berikut:

ما قام مقام الشيئ يعطى حكمه.

Sesuatu yang dapat melakukan tujuan dari sesuatu yang lain, maka sesuatu tersebut dihukumi sama dengan sesuatu yang lain tersebut.

b) Masuknya Benda Melalui Rongga Tubuh Selain Tenggorokan Bukan Untuk Tujuan Sebagai Asupan Makanan

Adapun jika benda yang dimasukkan tersebut bukan dimaksudkan sebagai asupan makanan, pada umumnya para ulama juga sepakat bahwa hal tersebut dapat membatalkan puasa. 

Hanya saja, mereka berbeda pendapat terkait rongga tubuh (jauf) yang mana yang dapat menyebabkan batalnya puasa jika ada suatu benda masuk ke dalamnya. Di mana, perbedaan terjadi karena pertimbangan akan kemungkinan mengalirnya benda tersebut melalui rongga yang berujung kepada lambung (ma’idah).

(1) Pori-pori Kulit

Para ulama sepakat bahwa mandi, berenang atau memakai pakaian yang dibasahi agar terasa segar dan dingin di kulit tidaklah membatalkan puasa, selama air tersebut tidak tertelan secara sengaja atau tidak sengaja. 

Kesepakatan ini didasarkan kepada hadits berikut:

عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ بَعْضِ أَصْحَابِ النَّبِيِّ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «صَائِمًا فِي السَّفَرِ يَصُبُّ عَلَى رَأْسِهِ الْمَاءَ مِنْ شِدَّةِ الْحَرِّ» (رواه أبو داود والنسائي في السنن الكبرى)

Dari Abu Bakar bin Abdurrahman, dan sebagian shahabat Nabi - shallallahu ‘alaihi wasallam -, yang berkata: Aku melihat Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - berpuasa saat melakukan perjalanan, dan beliau sedang menyiram kepalanya dengan air, karena sebab cuaca yang panas. (HR. Abu Dawud dan Nasai)

Para ulama juga sepakat bahwa jika benda yang dimasukkan melalui pori-pori kulit tidak mengalir ke rongga-rongga tubuh yang mengalirkannya ke lambung, tidaklah membatalkan puasa. 

Hanya saja, para ulama berbeda pendapat terkait pori-pori kulit yang jika disuntikkan sesuatu melaluinya, dapat membatalkan puasa atau tidak. Setidaknya ada dua masalah terkait hukum puasa dengan masuknya sesuatu melalui pori-pori kulit, yaitu: hukum masuknya sesuatu melalui pori-pori kulit paha atau betis dan hukum menerima transfusi darah melalui pembuluh darah.

(a) Pori-pori Kulit Paha & Betis

Umumnya para ulama berpendapat bahwa disuntikkannya sesuatu semacam obat melalui pori-pori kulit paha atau betis kaki tidaklah membatalkan puasa. Hal ini sebagaimana telah difatwakan oleh Mazhab Syafi’i dan Hanbali. Sedangkan Mazhab Hanafi dan Maliki, tidak membahasnya secara khusus. Namun tentunya, selama benda yang dimasukkan tersebut tidak dimaksudkan untuk asupan makanan atau nutrisi bagi yang berpuasa.

Imam an-Nawawi asy-Syafi’i (w. 676 H) berkata dalam kitabnya, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab:(1) 

لَو أَوصَلَ الدَّوَاءُ إلَى دَاخِلِ لَحْمِ السَّاقِ أَوْ غَرَزَ فِيهِ سِكِّينًا أَوْ غَيْرَهَا فَوَصَلَتْ مُخَّهُ لَمْ يُفْطِرْ بِلَا خِلَافٍ لِأَنَّهُ لَا يُعَدُّ عُضْوًا مُجَوَّفًا.

Jika seorang memasukkan suatu obat melalui kulit/daging paha, atau dengan cara dibedah menggunakan pisau dan yang semisalnya, lalu obat tersebut memasuki otaknya, hal tersebut tidaklah membatalkan puasa. Dalam hal ini, para ulama tidak berbeda pendapat. Sebab, pori-pori paha bukanlah anggota tubuh yang berongga.

Berdasarkan hal ini, para ulama kontemporer umumnya sepakat bahwa setiap proses Injeksi intramuskuler dalam medis, tidaklah membatalkan puasa.(2)  Yaitu proses pemberian obat dengan cara memasukkan obat ke jaringan otot dengan menggunakan spuit. Pemberian obat dengan cara ini dilakukan pada bagian tubuh yang berotot besar, agar tidak ada kemungkinan untuk menusuk syaraf, misalnya pada bagian bokong, dan kaki bagian atas, atau pada lengan bagian atas.

(b) Menerima Transfusi Darah (Huqn ad-Dam)

Para ulama berbeda pendapat apakah pasien sakit yang berpuasa (resipien), boleh untuk yang menerima transfusi darah yang disuntikkan melalui pembuluh darahnya (huqn ad-dam). Ataukah, hal tersebut dapat membatalkan puasanya.

Mazhab Pertama: Puasa batal.

Sebagian ulama kontemporer seperti Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Abdulllah al-Bassam, dan Syaikh Wahbah az-Zuhaili, berpendapat bahwa hal tersebut dapat membatalkan puasa.(3) 

Mazhab Kedua: Puasa tidak batal.

Sebagian ulama kontemporer lainnya seperti Syaikh Muhammad Bukhait al-Muthi’i, Syaikh Mahmud Syaltut, Syaikh Sayyid Sabiq, Syaikh al-‘Utsaimin, Syaikh Mahmud Abdul Lathif ‘Uwaidhah, dan putusan Majma’ al-Fiqh al-Islami dalam nadwah seputar fiqih kedokteran berpendapat bahwa hal tersebut dapat membatalkan puasa.(4) 

(2) Rongga Mata

Dalam kitab-kitab fiqih klasik, persoalan masuknya sesuatu melalui mata dalam ibadah puasa disebut dengan istilah iktihal (celak mata). Setidaknya ada dua masalah terkait hukum puasa dengan masuknya sesuatu melalui rongga mata, yaitu: hukum menggunakan celak mata saat berpuasa dan hukum menggunakan obat tetes mata atau lensa mata saat berpuasa.

(a) Penggunaan Celak Mata (Iktihal)

Para ulama berbeda pendapat apakah penggunaan celak mata (iktihal) saat berpuasa dapat membatalkan puasa atau tidak.

Mazhab Pertama: Tidak membatalkan puasa secara mutlak.

Mazhab Hanafi dan Syafi’i berpendapat bahwa iktihal tidaklah membatalkan puasa secara mutlak. Hal ini mereka dasarkan kepada hadits-hadits berikut:

عن عَائِشَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْها - قَالَتْ: اكْتَحَلَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - وَهُوَ صَائِمٌ (رواه ابن ماجه) 

Dari Aisyah - radhiyallahu ‘anha -: bahwa Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - memakai celak mata dalam keadaan berpuasa. (HR. Ibnu Majah)

Imam Syams al-A’immah as-Sarakhsi al-Hanafi (w. 483 H) berkata dalam al-Mabsuth:(5) 

وَالِاكْتِحَالُ لَا يَضُرُّ الصَّائِمَ، وَإِنْ وَجَدَ طَعْمَهُ فِي حَلْقِهِ ... إذْ لَيْسَ مِنْ الْعَيْنِ إلَى الْحَلْقِ مَسْلَكٌ فَهُوَ نَظِيرُ الصَّائِمِ يَشْرَعُ فِي الْمَاءِ فَيَجِدُ بُرُودَةَ الْمَاءِ فِي كَبِدِهِ، وَذَلِكَ لَا يَضُرُّهُ ...

Iktihal tidak membatalkan puasa, meskipun dapat terasa di tenggorokan … sebab mata bukanlah rongga yang mengalirkan sesuatu ke tenggorokan. Di mana rasa yang didapat di tenggorokan seperti rasa dingin yang menusuk jantung setelah tubuh tersentuh air dingin. Dan hal ini tidak membatalkan puasa.

Imam an-Nawawi asy-Syafi’i (w. 676 H) berkata dalam kitabnya, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab:(6) 

ويجوز أن يكتحل لما روى عن أنس انه كان يكتحل وهو صائم ولان العين ليس بمنفد فلم يبطل الصوم بما يصل إليها.

Dan dibolehkan bagi yang berpuasa menggunakan celak mata. Berdasarkan riwayat dari Anas, bahwa ia beriktihal saat berpuasa. Dan karena mata bukanlah rongga yang mengalirkan sesuatu ke tenggorkan, maka tidaklah membatalkan puasa benda papaun yang memasukinya.

Mazhab Kedua: Batal puasa jika memasuki tenggorokan.

Mazhab Maliki dan Hanbali berpendapat bahwa tidak secara mutlak iktihal tidak membatalkan puasa. Di mana ada kemungkinan iktihal dapat menyebabkan mengalirnya suatu benda melalui mata ke rongga tenggorokan. Dan jika itu terjadi, maka puasanya menjadi batal.

Imam ad-Dusuqi al-Maliki (w. 1230 H) berkata dalam Hasyiahnya ‘ala asy-Syarh al-Kabir:(7) 

أَنَّ الْكُحْلَ نَهَارًا لَا يُفْطِرُ مُطْلَقًا بَلْ إنْ تَحَقَّقَ وُصُولُهُ لِلْحَلْقِ أَوْ شَكَّ فِيهِ أَفْطَرَ فَإِنْ تَحَقَّقَ عَدَمُ وُصُولِهِ فَلَا يَفْطُرُ.

Bahwa bercelak mata di siang hari (saat berpuasa) tidaklah mebatalkan puasa secara mutlak. Namun jika dipastikan benda yang dimasukkan ke mata mengalir ke tenggorokan, meskipun diragukan, maka puasanya batal. Kecuali jika diyakini tidak masuk ke tenggorokan, maka tidak batal.

Imam Ibnu Qudamah al-Hanbali (w. 620 H) berkata dalam al-Mughni Syarah Mukhtashar al-Khiraqi:(8) 

فَأَمَّا الْكُحْلُ، فَمَا وَجَدَ طَعْمَهُ فِي حَلْقِهِ، أَوْ عَلِمَ وُصُولَهُ إلَيْهِ، فَطَّرَهُ، وَإِلَّا لَمْ يُفَطِّرْهُ.

Adapun al-kuhl, jika rasanya terasa di tenggorokan atau dapat diketahui alirannya ke tenggorokan, maka puasanya batal. Dan jika tidak terasa, maka tidak  batal.

(b) Penggunaan Obat Tetas Mata & Lensa Kontak

Berdasarkan pertimbangan adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama klasik terkait penggunaan celak mata, apakah dapat membatalkan puasa atau tidak, para ulama kontemporer juga berbeda pendapat dalam hal penggunaan obat tetas mata (at-taqthir fi al-’ain).

Namun menurut penelitian Abdur Razzaq al-Kindi, bahwa para ulama kontemporer umumnya berpendapat bahwa hal tersebut tidaklah membatalkan puasa. Dengan alasan bahwa menurut penemuan dalam dunia kedokteran bahwa cairan yang masuk dari rongga mata, umumnya tidak sampai mengalir ke tenggorokan. Dan inilah keputusan yang diambil oleh Majma’ al-Fiqh al-Islamy yang tertuang dalam Majallah Majma’ al-Fiqh al-Islamy No. 10, Juz. 2, hlm. 454.(9) 

Termasuk dalam hal ini difatwakan pula tentang tidak batalnya puasa karena menggunakan obat tetes mata, oleh para ulama Hanbali kontemporer, yang berpendapat bahwa terdapat kemungkinan iktihal dapat membatalkan puasa. Seperti fatwa Syaikh al-’Utsaimin dalam Majmu’ Fatawa (hlm. 19/206), Syaikh Abdul Aziz bin Baz dalam Majmu’ Fatawa (hlm. 15/261).

Demikian pula diqiyaskan hukum tersebut pada hukum penggunaan lensa kontak (al-’adasat al-lashiqoh), yang juga tidak membatalkan puasa.(10) 

(3) Rongga Hidung (Isti’ath)

Dalam kitab-kitab fiqih klasik, persoalan masuknya sesuatu melalui rongga hidung dalam ibadah puasa disebut dengan istilah isti’ath (استعاط).

Dalam hal apakah isti’ath dapat membatalkan puasa atau tidak, maka dapat diklasifikasikan terkait jenis benda yang memasukinya.

(a) Masuknya Benda Cair Melalui Rongga Hidung

Para ulama berbeda pendapat terkait batalnya puasa kerena masuknya benda cair ke dalam tubuh melalui rongga hidung (qatharat al-anfi).

Mazhab Pertama: Batal puasa.

Mayoritas ulama termasuk empat mazhab sepakat bahwa masuknya benda cair ke hidung yang mengalir ke dalam kepala, dapat membatalkan puasa. 

Pendapat ini didasarkan kepada atsar-atsar berikut ini:

عن عَائِشَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْها -: إِنَّمَا الإْفْطَارُ مِمَّا دَخَل، وَلَيْسَ مِمَّا خَرَجَ (أورده الهيثمي في مجمع الزائد (3 / 167) وقال: رواه أبو يعلى وفيه من لم أعرفه)

Dari Aisyah - radhiyallahu ‘anha -: Batalnya puasa oleh sebab apa yang masuk, bukan apa yang keluar (Imam al-Haitsami menyebutkannya dalam Majma’ az-Zawa’id (hlm. 3/167), dan ia berkata: Diriwayatkan oleh Abu Ya’la, dan aku tidak mengetahui sanadnya)

عن ابْنِ عَبَّاسٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -: الْفِطْرُ مِمَّا دَخَل، وَلَيْسَ مِمَّا يَخْرُجُ (أخرجه ابن أبي شيبة)

Dari Ibnu Abbas - radhiyallahu ‘anhu -: Batalnya puasa oleh sebab apa yang masuk, bukan apa yang keluar (HR. Ibnu Abi Syaibah).

Mazhab Kedua: Tidak batal.

Imam Ibnu Hazm azh-Zhahiri dalam kitab al-Muhalla berpendapat bahwa masuknya sesuatu ke dalam hidung tidaklah membatalkan puasa. Sebab hal tersebut tidak bisa disamakan dengan makan dan minum yang dimaksud di dalam al-Qur’an.(11) 

(b) Masuknya Asap Melalui Rongga Hidung

Para ulama dari kalangan empat mazhab sepakat bahwa asap yang masuk ke dalam hidung, hingga terasa di tenggorokan, termasuk pembatal puasa. Maka berdasarkan hal ini, menghisap asap rokok saat berpuasa termasuk menyebabkan batalnya puasa. Termasuk di dalamnya asap-asap dari pembakaran benda lainnya. Di mana istilah untuk menyebut orang yang menghirup asap rokok tersebut, biasa disebut dengan perokok pasif.

Tentu, dengan syarat, asap yang masuk ke dalam hidung perokok pasif tersebut, selanjutnya terasa hingga tenggorokannya. Adapun jika asap tersebut memasuki sebatas rongga hidungnya saja, dan tenggorokannya tidak merasakan sama sekali, maka puasanya tetaplah sah.

Dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah disebutkan:(12) 

اسْتِعْمَال الْبَخُورِ وَيَكُونُ بِإِيصَال الدُّخَانِ إِلَى الْحَلْقِ، فَيُفْطِرُ، أَمَّا شَمُّ رَائِحَةِ الْبَخُورِ وَنَحْوِهِ بِلاَ وُصُول دُخَانِهِ إِلَى الْحَلْقِ فَلاَ يُفْطِرُ وَلَوْ جَاءَتْهُ الرَّائِحَةُ وَاسْتَنْشَقَهَا، لأِنَّ الرَّائِحَةَ لاَ جِسْمَ لَهَا.

Menggunakan bukhur (wewangian dari asap kayu) termasuk membatalkan puasa, jika asapnya memasuki tenggorokan. Adapun sekedar mencium aromanya, tanpa ada asap yang masuk ke dalam tenggorokan maka tidaklah membatalkan puasa. Sebab aroma tidaklah berfisik/berbentuk.

(c) Batalkah Puasa Oleh Sebab Menghirup Aroma Benda Tertentu?

Berdasarkan keterangan kitab al-Mausu’ah di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dibolehkan bagi orang yang sedang berpuasa untuk menggunakan wewangian serta menghirup aromanya ataupun aroma-aroma lainnya. Hal ini, karena aroma dari suatu benda tidaklah berwujud benda layaknya benda cair dan gas. 

Dan karena itu, puasanya tidaklah batal seperti tidak batalnya puasa orang yang mandi dan ia merasakan dinginnya air hingga ke dalam tubuhnya.

(4) Rongga Telinga (at-Taqthir fi al-Uzun)

Mayoritas ulama khususnya para ulama empat mazhab berpendapat bahwa rongga telinga termasuk jalur rongga tubuh yang jika dimasukkan suatu benda ke dalamnya hingga mengalir ke dalam otak, dapat membatalkan puasa. Namun dalam masalah ini, imam al-Ghazali (w. 505 H) dari kalangan asy-Syafi’iyyah menyelisihi pendapat jumhur dan mazhab resmi Syafi’iyyah, sebagaimana diinformasikan oleh Imam an-Nawawi.(13) 

Berdasarkan hal ini, maka obat tetes telinga dalam bentuk larutan, suspensi, atau salep yang ditetaskan atau dimasukkan dalam jumlah kecil ke dalam saluran telinga untuk melepaskan kotoran telinga (lilin telinga) atau untuk mengobati infeksi, peradangan, atau rasa sakit di telinga, dapat dihukumi sebagaimana penjelasan ulama tersebut. Di mana penggunaan tetas telinga dapat membatalkan puasa, jika tetesan cairan tersebut terasa hingga ke otak atau tenggorokan.

(5) Rongga Dubur (Ihtiqon)

Dalam kitab fiqih klasik, proses memasukkan benda tertentu seperti obat melalui lubang dubur atau anus, disebut dengan ihtiqon. Sebagaimana hal ini didefinisikan oleh Imam Muhammad Akmaluddin al-Babarti al-Hanafi (w. 786 H) dalam kitabnya, al-‘Inayah Syarah al-Hidayah:(14) 

الاِحْتِقَانُ: صَبُّ الدَّوَاءِ أَوْ إِدْخَال نَحْوِهِ فِي الدُّبُرِ.

Al-Ihtiqan: Memasukkan obat atau semacamnya ke dalam tubuh melalui dubur.

Para ulama berbeda pendapat apakah memasukkan sesuatu ke dalam tubuh via rongga anus atau rektum, dapat membatalkan puasa?.

Mazhab Pertama: Membatalkan puasa.

Para ulama empat mazhab umumnya sepakat bahwa ihtiqon dapat membatalkan puasa. Di mana mereka mendasarkannya pada atsar Aisyah dan Ibnu Abbas - radhiyallahu ’anhuma - berikut ini:

عن عَائِشَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْها -: إِنَّمَا الإْفْطَارُ مِمَّا دَخَل، وَلَيْسَ مِمَّا خَرَجَ (أورده الهيثمي في مجمع الزائد (3 / 167) وقال: رواه أبو يعلى وفيه من لم أعرفه)

Dari Aisyah - radhiyallahu ‘anha -: Batalnya puasa oleh sebab apa yang masuk, bukan apa yang keluar. (Imam al-Haitsami menyebutkannya dalam Majma’ az-Zawa’id (hlm. 3/167), dan ia berkata: Diriwayatkan oleh Abu Ya’la, dan aku tidak mengetahui sanadnya)

عن ابْنِ عَبَّاسٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -: الْفِطْرُ مِمَّا دَخَل، وَلَيْسَ مِمَّا يَخْرُجُ (أخرجه ابن أبي شيبة).

Dari Ibnu Abbas - radhiyallahu ‘anhu -: Batalnya puasa oleh sebab apa yang masuk, bukan apa yang keluar. (HR. Ibnu Abi Syaibah).

Mazhab Kedua: Tidak batal.

Sebagian al-Malikiyyah seperti Ibnu Habib, sebagian asy-Syafi’iyyah seperti al-Qadhi Abu Syuja’ dan sebagian al-Hanabilah seperti Ibnu Taimiyyah, berpendapat bahwa ihtiqan tidak membatalkan puasa.(15) 

(6) Rongga Qubul (at-Taqthir fi Masalik al-Baul)

Sedangkan proses memasukkan benda tertentu melalui rongga qubul atau dzakar (kemaluan depan dan vagina) dalam istilah fiqih Syafi’i khususnya, disebut dengan taqthir fi al-ihlil. Dalam dunia medis modern, disebut dengan kateterisasi urin (al-qusturah al-bawliyyah). Yaitu suatu tindakan untuk memasukkan kateter ke dalam kandung kemih melalui uretra. Dalam dunia medis, hal ini dilakukan hanya dalam keadaan terpaksa, karena ada risiko masuknya mikro organisme ke dalam kandung kemih (al-matsanah) dan saluran kemih.

Terkait apakah tindakan ini dapat membatalkan puasa atau tidak, para ulama berbeda pendapat:(16) 

Mazhab Pertama: Tidak membatalkan puasa.

Mayoritas ulama (Hanafi, Maliki, Hanbali), berpendapat bahwa tindakan tersebut tidak membatalkan puasa. Meskipun benda yang dimasukkan tersebut mengalir mancapai kantung kemih.

Mazhab Kedua: Membatalkan puasa.

Mazhab Syafi’i dan Abu Yusuf dari kalangan al-Hanafiyyah berpendapat bahwa tindakan tersebut dapat membatalkan puasa secara mutlak.

----------------------

(1) Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, hlm. 4/314.

(2) Fatwa Syaikh Muhammad Bukhait al-Muthi’i –mantan mufti Mesir- (Ahmad al-Khali, Mufatthirat ash-Shiyam al-Mu’ashir, hlm. 65), Syaikh Mahmud Syaltut (al-Fatawa, hlm. 136), Syaikh Ibnu Baz –mantan mufti Arab Saudi- (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, hlm. 15/257), Syaikh al-‘Utsaimin (Majmu’ Fatawa wa Rasa’il asy-Syaikh al-‘Utsaimin, hlm. 19/220-221), Syaikh Yusuf al-Qaradhawi (Fiqh ash-Shiyam, hlm. 85), dan putusan Majma’ al-Fiqh al-Islami (Majallah Majma’ al-Fiqh al-Islami, No. 10, hlm. 2/464).

(3) Abdul Aziz bin Baz, Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, hlm. 15/275, Abdullah al-Bassam, Tawdhih al-Ahkam min Bulugh al-Maram, hlm. 3/495, Majallah Majma’ al-Fiqh al-Islami, No. 10, hlm. 2/378.

(4) Mahmud Syaltut, al-Fatawa, hlm. 136, Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, (Bairut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1397/1977), hlm. 1/323, al-‘Utsaimin, Majmu’ Fatawa, hlm. 20/284, ‘Uwaidhah, al-Jami’ li Ahkam ash-Shiyam, hlm. 252.

(5) Muhammad bin Ahmad as-Sarakhsi, al-Mabsuth, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1414/1993), hlm. 3/67.

(6) Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, hlm. 6/347

(7) Muhammad bin Ahmad ad-Dusuqi, Hasyiah ad-Dusuqi ‘ala asy-Syarh al-Kabir, hlm. 1/524.

(8) Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni Syarah Mukhtashar al-Khiraqi, hlm. 3/121. 

(9) Abdur Razzaq al-Kindi, al-Mufatthirat ath-Thibbiyah al-Mu’ashirah, hlm. 239.

(10) Abdur Razzaq al-Kindi, al-Mufatthirat ath-Thibbiyah al-Mu’ashirah, hlm. 243. Lensa kontak adalah lensa korektif, kosmetik, atau terapi yang biasanya ditempatkan di kornea mata. Lensa kontak biasanya mempunyai kegunaan yang sama dengan kacamata konvensional atau kacamata biasa, tetapi lebih ringan dan bentuknya tak tampak saat dipakai.

(11) Ali bin Ahmad Ibnu Hazm azh-Zhahiri, al-Muhalla bi al-Atsar, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), hlm. 6/203-204.

(12) Kementrian Waqaf Kuwait, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, (Mesir: Dar ash-Shafwah, 1404-1427), cet. 1, hlm. 35/28.

(13) Muhammad bin Muhammad Abu Hamid al-Ghazali, al-Wasith fi al-Mazhab, (Kairo: Dar as-Salam, 1417), hlm. 2/525, an-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, hlm. 6/322. Lihat kesepakatan empat mazhab dalam masalah ini: al-Kasani, Badai’ ash-Shanai’, hlm. 2/93, al-Qairawani, Tahzib al-Mudawwanah, hlm. 1/132, an-Nawawi, Raudhah ath-Thalibin, hlm. hlm. 2/223, Ibnu Qudamah, al-Kafi, 3/353.

(14) Muhammad bin Muhammad Akmaluddin al-Babarti al-Hanafi, al-‘Inayah Syarah al-Hidayah, (t.t: Dar al-Fikr, t.th), hlm. 2/266-267. 

(15) Ahmad bin Abdul Halim Ibnu Taimiyyah al-Harrani, Majmu’ al-Fatawa, (Madinah: Majma’ al-Malik Fahd, 1416/1995), hlm. 25/233.

(16) Az-Zaila’i, Tabyin al-Haqa’iq, hlm. 1/330, Nizhomuddin al-Balkhi, al-Fatawa al-Hindiyyah, 1/204, Ibnu Juzai, al-Qawanin al-Fiqhiyyah, hlm. 80, Ibnu Qudamah, al-Mughni, hlm. 3/42.

Sumber FB Ustadz : Isnan Ansory MA

23 April 2021 

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Pembatal Puasa : Makan Minum (2) - Kajian Ulama". Semoga Allah senantiasa memberikan hidayah dan Taufiq Nya untuk kita semua. aamiin. by Kajian Ulama Aswaja ®