SHALAT
Kesunnahan dalam shalat secara umum terbagi menjadi dua, yaitu sunnah ab’ad dan sunnah hai’at. Sunnah ab’ad adalah kesunnahan yang jika tidak dilakukan maka disunnahkan menggantinya dengan sujud sahwi. Sedangkan sunnah hai’at sebaliknya, kesunnahan yang jika tidak dilakukan maka tidak disunnahkan sujud sahwi. Salah satu bagian dari sunnah ab’ad adalah kesunnahan mengangkat tangan pada saat takbir dalam rukun-rukun tertentu.
Mengangkat tangan disunnahkan dalam beberapa tempat, yaitu ketika takbiratul ihram, ruku’, i’tidal dan ketika bangkit dari rakaat kedua atau ketika setelah selesai tasyahud awal. Kesunnahan mengangkat tangan ini salah satunya dijelaskan dalam hadits:
كان إذا دخل في الصلاة كبّر ورفع يديه وإذا ركع رفع يديه، وإذا قال: سمع الله لمن حمده رفع يديه، وإذا قام من الركعتين رفع يديه
“Rasulullah ketika melaksanakan shalat, bertakbir dan mengangkat kedua tangannya. Dan ketika hendak ruku’, beliau mengangkat kedua tangannya. Dan ketika mengucapkan ‘Sami‘allâhu li man hamidahu’ mengangkat kedua tangannya. Dan ketika bangkit dari dua rakaat, beliau mengangkat kedua tangannya.” (HR. Bukhari)
Sedangkan cara melaksanakan kesunnahan mengangkat tangan yang paling sempurna adalah dengan cara menyejajarkan ujung jari-jari dengan bagian telinga yang paling atas, kedua jempol sejajar dengan janur telinga dan kedua telapak tangan sejajar dengan kedua pundak, seperti yang dijelaskan dalam kitab al-Fiqhu ala al-Madzahib al-Arba’ah:
الشافعية قالوا: الأكمل في السنة هو رفع اليدين عند تكبيرة الإحرام والركوع والرفع منه وعند القيام من التشهد الأول حتى تحاذي أطراف أصابعه أعلى أذنيه وتحاذي إبهاماه شحمتي أذنيه, وتحاذي راحتاه منكبيه للرجل والمرأة, أمّا أصل السنة فتحصل ببعض ذلك.
“Mazhab Syafi’iyah berpandangan bahwa kesunnahan yang paling sempurna adalah dengan cara mengangkat kedua tangan ketika takbiratul ihram, ruku’, bangkit dari ruku’ (i’tidal), dan ketika berdiri dari tasyahud pertama. Mengangkat tangan ini sekiranya ujung jari-jari tangan sejajar dengan bagian telinga yang paling atas, kedua jempol sejajar dengan janur telinga dan kedua telapak tangan sejajar dengan dua pundak. Baik bagi laki-laki ataupun perempuan. Adapun asal kesunnahan maka sudah cukup dengan melaksanakan sebagian dari ketentuan tersebut. (Syekh Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqhu ala al-Madzahib al-Arba’ah, Juz 1, hal. 224)
Namun kesunnahan mengangkat tangan setelah tasyahud awal dalam permasalahan di atas, hanya berlaku bagi orang yang memang berada pada rakaat kedua baik ketika shalat sendirian atau dalam keadaan bermakmum pada imam sejak rakaat pertama. Lalu bagaimana dengan makmum masbuq (telat)?
Dalam hal ini, makmum masbuq yang mendapati imam tidak pada rakaat pertama tidak disunnahkan mengangkat kedua tangannya, meskipun tetap disunnahkan baginya melafalkan takbir intiqal (takbir perpindahan rukun) sebab hitungan rakaat kedua hanya berlaku bagi imam, tidak bagi dirinya. Hal ini ditegaskan dalam kitab Tuhfah al-Habib ala Syarh al-Khatib:
ـ (وعند القيام إلى الثالثة من التشهد الأول) لعلّ المراد التشهد الأول بالنسبة للمصلّي. فلا يرفع إذا أدرك الإمام في الثانية
“Dan (disunnahkan mengangkat tangan) ketika berdiri menuju rakaat ketiga dari tasyahud awal. Mungkin hal yang dikehendaki (pengarang kitab) adalah tasyahud awal ketika dinisbatkan pada orang yang shalat. Maka tidak disunnahkan mengangkat tangan bagi orang yang shalat ketika bermakmum pada imam pada rakaat kedua.” (Syekh Sulaiman al-Bujairami, Tuhfah al-Habib ala Syarh al-Khatib, Juz 2, hal. 211)
Maka dengan demikian, makmum masbuq hanya disunnahkan mengangkat tangan pada saat takbiratul ihram, ruku’, i’tidal dan ketika bangkit dari tasyahud awal yang dinisbatkan pada dirinya sendiri bukan tasyahud awal yang dinisbatan pada imam, seperti ia mendapati imam pada shalat maghrib di rakaat kedua, maka setelah rakaat ketiga imam, ia disunnahkan takbir intiqal sekaligus mengangkat kedua tangannya, sebab dalam hal ini, tasyahud akhir dari imam merupakan tasyahud awal bagi makmum masbuq tersebut. Wallahu a’lam.
(Ustadz Ali Zainal Abidin)