Assalamualaikum ustadz, ada satu hal yg mengganjal hati saya, yaitu hukum seorang khatib menerima amplop atau honor khutbah.
Hal itu karena ada sebagian orang beranggapan bahwa seorang khatib itu tidak boleh menerimanya dari infaq masjid.
Karena seakan sama saja shalat jumatnya itu dibayar atau shalatnya itu bernilaikan seisi amlop, bagaimana tanggapan ustadz, mohon penjelasannya?
Pertanyaan macam ini ditanyakan ke saya, tentu saja jawabannya terserah. Maksudnya boleh tidaknya dikembalikan kepada si khatib sendiri. Kalau dia mau menerima, hukumnya boleh saja dan ada dalil yang kuat untuk membolehkannya.
Sebaliknya, kalau si khatib punya pemikiran bahwa amplop itu haram, yang silahkan saja.
Jadi saya tidak bilang halal atau haram, silahkan masing-masing pilih jawaban sendiri-sendiri.
Oke?
Adapun kalau yang bilang halal, tentu tergantung dari jenis akadnya. Kalau akadnya semata-mata jual-beli, memang cenderung jadi haram. Sebab dalam akad jual-beli ada beberapa ketentuan yang tidak boleh dilanggar.
Tapi kalau akadnya bukan jual-beli, maka bisa saja menjadi halal. Sebagai contoh, ketika kita makan di tempat hajatan nikahan. Ngajak anggota keluarga 5 orang, tapi ngasih sumbangan di amplol tanpa nama cuma 10 ribu perak.
Kira-kira hukumnya halal apa haram?
Jawabannya tergantung akadnya. Kalau akadnya jual-beli, ya tentu saja haram. Mana ada warung yang mau dibayar 10 ribe perak untuk makan 5 orang?
Tapi dari semula ini judulnya bukan jual-beli makanan. Ini walimahan yang secara makna bahasa adalah undangan jamuan makan-makan. Malah tidak ada sama sekali keharusan untuk 'nyumbang' uang kondangan.
Namanya aja diundang makan, ya tidak harus bayar dong. Kalau harus bayar, namanya bukan walimah.
Begitu juga imam shalat, khatib, penceramah, qori, dan muadzdzin ketika diberi amplop, tidak jadi haram karena akadnya bukan jual-beli. Mereka tidak jualan sesuatu. Ketika menerima uang di amplop, ternyata akadnya bukan jual-beli, tapi bisa semacam hadiah, mukafaah, penghargaan, atau pun juga santunan pengganti.
Mereka pada dasarnya voluntir, pekerja sosial, yang dengan rela dan ikhlas berbuat sesuatu demi kepentingan orang banyak. Lalu para jamaah dengan segala kesadaran ingin juga ikut berpartisipasi meringankan beban hidupnya.
Seharusnya si muadzin, imam, qori atau khatib itu bekerja di kantor atau pabrik. Namun karena dia mendedikasikan waktu dan tenaganya untuk umat, maka wajar kalau dia mendapatkan juga penghargaan dari umat.
Namun oleh sebagian kalangan yang kurang paham, amplop itu dianggap sebagai alat pembayaran murni. Akadnya 'dipaksakan' menjadi akad jual-beli, padahal yang namanya jual-beli itu pasti ada penawaran harga.
Pernah dengar ada khatib sebelum naik mimbar, lalu menawar isi amplopnya? Kalau tidak 10 juta, saya tidak mau naik mimbar nih.
Pernah dengar?
Satu dua mungkin ada, tapi kebanyaka para khatib naik mimbar dengan ikhlas tanpa mikirin amplop. Buat apa amplop dipikirkan?
Tidak ada gunanya. Kalau pun mau, pikirkan saja isinya. Hehehe
Sumber FB : Ahmad Sarwat
6 September 2020 pada 11.16 ·