Ahmad Zarkasih, Lc
Kita tidak mendapati –sejak dulu- ulama salaf yang beneran salaf juga ulama madzhab, yang dalam masalah-masalah fiqih, mereka menisbatkan pendapat hasil ijtihad mereka kepada al-Qur’an dan sunnah. Dengan bahasa yang lebih ringan, kita tidak pernah mendapati mereka menuliskan dalam kitab-kitab mereka “ini pendapat yang shahih dan benar menurut al-Qur’an dan sunnah”. Tidak pernah kita dapati itu. Sama sekali tidak pernah. Yang kita dapati adalah, bahwa mereka dalam masalah-masalah fiqih yang mereka ijtihad-kan mereka menisbatkan pendapat mereka itu kepada diri mereka atau madzhab mereka.
Itu tentu bukan karena para salaf dan ulama madzhab serta imam-imam mulia mereka tidak mengambil hukum dari al-Qura’an dan sunnah. Bukan itu tentunya. Keliru jika ada yang beranggapan seperti ini. Toh para imam-imam itu beserta ulamanya, adalah orang yang memang sangat mengerti dengan dalam maksud teks syariah, baik ayat atau juga hadits. Baik itu yang manthuq atau juga yang mafhum-nya. Apa yang mereka lakukan dengan tidak menisbatkan pendapat mereka kepada al-Qur’an dan sunnah, itu bukti kedalaman kepahaman mereka terhadap teks-teks al-Quran dan sunnah.
Syariah dan Fiqih
Yang mesti kita tahu terlebih dahulu, bahwa dalam al-Qur’an dan sunnah yang merupakan 2 sumber utama dalam syariat Islam ini ada di dalamnya teks yang bersifat qath’iy (pasti), dan juga yang sifatnya Dzanniy (duga-duga). Yang Qath’iy itu adalah teks yang tidak punya makna berbilang dan sudah tidak mungkin ditafsirkan lagi, serta tidak perlu dilakukan didalamnya ijtihad. Itu yang disebut dengna istilah Nash. Seperti wajibnya shalat, haramnya berjudi, mencuri juga berzina. Kesemua itu syariah yang menghukumi.
Jadi wajibnya shalat itu bukan perkara ijtihadiy, maka tidak bisa dikatakan “shalat itu wajib menurut madzhab fulan...”, tidak bisa. Harus dikatakan bahwa “shalat itu wajib menurut syariat islam!”.
Di samping Qath’iy, ada bahkan banyak teks syariah yang sifatnya dznniy; karena memang ini yang menjadi porsi terbesar dalam teks syariah, baik itu ayat al-Qur’an atau juga Hadits nabi s.a.w.. dzanniy itu teks yang masih multi tafsir, mana tidak bisa digali hukum dari teks tersebut kalau hanya berdiri sendiri karena memang masih bias kandungannya. Yang membuat teks syariah itu menjadi dzanniy banyak sebabnya, bisa karena memang dari sisi bahasa, teks tersebut punya arti yang lebih dari satu dan kesemua punya kekuatan dari segi pemakaian.
Atau mungkin karena memang kandungannya berseinggungan atau berselisih denga teks syariah lainnya. Atau bisa juga karena sumbernya yang masih diragukan; seperti hadits Ahad. Pada intinya, teks-teks syariah yang sifatnya dzanniy ini tidak mungkin bisa difahami dan tidak bisa digali hukum dari akndungannya kecuali dengan upaya penelitian yang lebih mendalam. Itu yang dinamakan dengan ijithad.
Fiqih = Teks Dzanniy = Ijtihad
Nah, di teks-teks dzanniy inilah para imam madzhab dan ulamanya bekerja. Artinya mereka memang bekerja menggali hukum dari teks-teks yang syariah itu sendiri tidak memberikan hukum secara pasti, karena memang sifatnya yang dzanniy. Kalau dibiarkan, tentu akan ada kekosongan hukum yang jelas sangat tidak membantu bagi orang awam. Maka dari itu, mereka; para imam beserta ulama madzhab meneliti, menelaah apa yang sejatinya dimaksud oleh Allah s.w.t. dan juga Rasul-Nya s.a.w. dari ayat dan juga hadits, untuk kemudian dihasilkan dari penelitian tersebut sebuah hukum. Itu yang disebut dengan ijtihad.
Itu yang disebut perkara ijtihadiy. Lapangannya adalah teks-teks dzanniy, yang bekerja di dalamnya adalah imam dan ulama madzhab. Pekerjaan disebut ijtihad, dan hasilnya dinamakan fiqih.
Contohnya ijtihad ulama madzhab dalam hal menghitung masa iddah wanita yang tertalak oleh suaminya; apakah 3 kali masa hadih, atau 3 kali masa suci? Disebutkan dalam ayat dengan redaksi “Quru’”; yang dalam bahasa arab, bisa berarti masa suci, bisa berarti juga masa haidh. Atau juga ijtihad ulama madzhab terkait bismillah dalam shalat sebelum membaca al-Fatihah, disebabkan karena karena memang banyak dalil yang bersinggungan. Satu riwayat mengatakan baca, riwayat lain justru tidak. ini lapangan ijtihad yang mana ulama bekerja di dalamnya untuk kita; orang awam agar mudah memahami.
Maka dalam 2 hal di atas, atau lebih luasnya dalam hal fiqih, karena memang medan kerjanya adalah teks-teks dzanniy yang butuh Ijtihad, tidak bisa seseorang –siapapun itu- mengatakan bahwa masa Iddah wanita itu 3 masa haidh menurut syariat. Tidak! yang benar itu menurut madzhab fulan. Tidak juga kita katakan, membaca bismillah dikeraskan dalam shalat itu adalah yang benar menurut syariat. Tidak bisa! Itu benar menurut ijtihadnya imam fulan atau madzhab fulan; Karena memang syariah sendiri memberi peluang untuk diadakan ijtihad di dalamnya.
Ijtihad = Hasil Otak Bukan Wahyu
Dan yang namanya ijtihad itu kebenaran tidak mutlak dan tidak ditentukan pada ijtihad siapa. Yang benar-benar tahu di ijtihad mana kebenran itu berada hanyalah Allah s.w.t.. Ulama hanya menjalankan perintah, bahwa teks yang masih bias harus dijalankan ijtihad, tentu yang melaksanakan mereka yang kompeten. Maka kalimat yang masyhur dari kalangan imam mazdhab itu adalah “qouliy shawab, yahtamilu al-khatha’. Qoulu Ghairy Khatha’, Yahtamilu shawab” = “pendapatku benar, tapi bisa jadi salah. Pendapat selainku salah, tapi bisa jadi benar”.
Karena memang yang namanya ijihad itu hasilnya bisa jadi benar, bisa jadi salah. Tapi jika memamng dilakukan oleh pihak yang kompeten dan otoritatif, kesalahanya tidak berdosa akan justru mendapat pahala. Karena memang kebenarannya tidak pasti, tidak ada ulama yang berani menisbatkan pendapatnya kepada al-Qur’an dan sunnah Nabi s.a.w.. Mungkin sampai sini bisa dipahami mengapa tidak ada ulama yang mengatakan dalam masalah fiqih “ini pendapat yang benar menurut al-Qur’an dan sunnah!”. Tidak ada!
Hukum fiqih yang dihasilkan adalah hasil kerja otaknya sendiri, yang bisa jadi salah bisa jadi benar. Dan otaknya itu terbatas, juga bukanlah patokan kebenaran dalam syariah. Meraka selalu mengatakan: “ini pendapatku, jika benar ini dari Allah. Jika salah ini dari diriku dan juga setan!. Sama sekali tidak ada dari mereka yang mematok kebenaran. Dan yang menyelisihnya salah, keliru, serta telah menyelisih syariah.
Kalau mereka menisbatkan pendapatnya itu kepada al-Quran dan sunnah, itu artinya ia menisbatkan sesuatu yang kebenarannya belum dipastikan kepada Allah s.w.t. dan Rasul s.a.w.. Itu artinya ia merasa bahwa otaknya itu adalah representasi dari apa yang diinginkan oleh Allah s.w.t dan Rasul-Nya s.a.w.. artinya, jika pendapatnya salah berarti ia telah menisbatkan kesalahan kepada Allah s.w.t. yang maha benar dan kepada Rasul s.a.w.. Dosa apa yang lebih besar dibanding menisbatkan kesalahan kepada Allah dan Rasul-Nya? Ini pelecehan kepada al-Quran dan sunnah namanya.
Allah Maha Benar Tidak Mungkin Salah
Jadi, para ulama madzhab menisbatkan pendapat ijtihadnya kepada diri mereka dan madzhab mereka sendiri tidak kepada al-Qur’an dan sunnah bukan mereka tidak berhukum dengan al-Quran dan sunnah. Tapi Khawatir kalau apa yang mereka ijtihadkan itu bukanlah sebuah kebenenaran yang Allah swt dan Rasul-Nya inginkan. Mereka hanya menjalankan tugas ijtihad, tapi tidak bertugas untuk mengaku-ngaku bahwa ijtihadnya yang paling benar. Karena itu mereka tidak mengatakan: “ini pendapat yang sesuai Kitab dan Sunnah!”.
Tapi justru dengan tegas mereka mengatakan bahwa hasil ijtihadnya itu adalah pendapatnya sendiri. Kalimat yang masyhur seperti ini: “ini adalah pendapatku, kalau ini benar maka itu dari (anugerah) Allah dan kalau salah maka itu dari aku sendiri dan dari setan. Dan Allah serta Rasul-Nya terbebas dari (ijtihad)-ku ini.”
Dan ini adalah kebiasaan ulama salaf yang benar-benar salaf yang memang diwarisi dari para sahabat Nabi s.a.w.. Ini juga terekam oleh Imam Ibn Taimiyyah dalam banyak halaman di kitab beliau Majmu’ al-Fatawa, salah satunya di Bab 10, hal. 450:
وَقَدْ قَالَ أَبُو بَكْرٍ وَابْنُ مَسْعُوْدٍ وَغَيْرُهُمَا مِنَ الصَّحَابَةِ فِيْمَا يُفْتُوْنَ فِيْهِ بِاجْتِهَادِهِمْ: إِنْ يَكُنْ صَوَابًا فَمِنَ اللهِ وَإِنْ يَكُنْ خَطَأً فَهُوَ مِنِّي وَمِنَ الشَّيْطَانِ وَاللهُ وَرَسُوْلُهُ بَرِيئَانِ مِنْهُ
“dan Abu Bakr serta Ibnu Mas’ud serta sahabat lainnya telah berkata dalam setiap fatwa yang merekaijtihadkan: ini adalah pendapatku, kalau ini benar maka itu dari (anugerah) Allah dan kalau salah maka itu dari aku sendiri dan dari setan. Dan Allah serta Rasul-Nya terbebas dari (ijtihad)-ku ini.”
Jadi, tidak gampang mengatakan: “ini yang benar sesuai quran dan sunnah!”. Sebagaimana juga para sahabat mengajarkan itu. Karena bisa saja ijtihadnya itu salah, akhirnya ia menisbatkan pendapat yang salah kepada Allah dan Nabi saw. Naudzubillah.
Dan lebih jauh lagi, kalau menisbatkan pendapat pribadi kepada sunnah, itu berarti menjual nama Nabi s.a.w. agar pendapatnya ‘laku’, padahal sama sekali itu bukan Nabi yang mengatakan, nyatanya itu hasil dari otaknya yang terbatas, ingat bahwa berdusta atas nama Nabi s.a.w., hadiahnya adalah nereka.
وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“siapa yang berbohong atasku, maka hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya di neraka” (Muttafaq ‘alayh)
Jadi, masih mau mencatut nama Allah s.w.t., dan Rasul-Nya s.a.w. agar pendapat pribadi dari otak yang dangkal ini ‘laku’ di depan khalayak awam? Silahkan jika memang mampu menandingi para sahabt juga ulama-ulama madzhab.
Wallahu a’lam.
Sumber Website : https://www.rumahfiqih.com/z.php?id=19 (26 January 2016 05:24)