by. Ahmad Sarwat, Lc.,MA
Hukum Syariah itu wajib diterapkan sesuai dengan perkaranya. Kewajibannya mutlak dan sampai hari kiamat hukum syariah tidak akan berubah.
Tapi ada beberapa catatan penting yang sering luput dari perhatian kita, khususnya dalam kasus tertentu.
Misalnya ketika perkaranya sendiri sudah tidak ada lagi, maka hukumnya pun tidak mungkin diterapkan. Dan suatu hukum tidak boleh diterapkan pada yang bukan perkaranya.
Ketika Rasulullah SAW wafat di tahun kesepuluh hijriyah dan digantikan oleh Abu Bakar, keadaan sudah mulai jauh berubah. Dahulu umat Islam masih dalam keadaan lemah, sehingga syariatnya masih mengarahkan untuk bemurah hati kepada orang kafir untuk diberikan zakat.
Namun saat itu Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu sudah melihat perubahan perkara yang cukup gradual. Bagi Umar, keadaan sudah jauh terbalik dan posisi umat Islam sudah sedemikian kuatnya. Sudah bukan pada tempatnya lagi untuk meminta belas kasihan atau mengambil hati orang kafir lewat pemberian zakat.
Dan dua tahun kemudian ketika Umar sendiri yang menjadi khalifah, perubahan ini benar-benar ditetapkan. Beliau menolak dengan tegas memberi zakat kepada orang kafir.
Padahal di dalam Al-Quran tegas disebutkan bahwa orang yang sedang ditaklukkan hatinya (al-muallafati qulubuhum) adalah salah satu dari 8 asnaf zakat.
Namun Umar memandang bahwa di masanya keberadaan orang kafir yang kuat itu mereka sudah tidak lagi eksis, alias dianggap sudah tidak ada. Yang ada justru orang kafir yang lemah. Maka menurut Umar, ancamannya sudah tidak ada lagi. Keberadaan orang kafir sudah tidak lagi menjadi ancaman, jadi buat apa dikasih zakat.
Kalau mau masuk Islam yang silahkan masuk Islam, tidak mau masuk Islam yang terserah saja.
Dalam hal ini banyak orang keliru menyebut bahwa Umar mengubah hukum syariah. Padahal hukum syariahnya tidak pernah berubah. Yang berubah itu perkaranya, kasusnya dan keadaannya. Dalam hal ini kondisi dimana umat Islam lemah dan orang kafir kuat sehingga harus 'setoran' zakat kepada pihak kafir sudah berubah.
Kasusnya mirip dengan kewajiban wudhu' yang mengharuskan mencuci kedua tangan sampai siku. Namun dalam perkara orang yang tangannya buntung sampai ke pundak, tentu tidak mungkin diterapkan rukun wudhu' yang satu itu. Maka gugurlah kewajiban mencuci kedua tangan bagi dirinya.
Sebenarnya secara tidak sadar kita pun telah menerima konsep ini sejak lama. Sebutlah tentang kewajiban haji yang hanya dibebankan kepada mereka yang mampu pergi kesana (لمن استطاع إليه سبيلا). Mereka yang tidak sampai kategori mampu, maka tidak diwajibkan pergi haji. Ini disepakati 4 mazhab dan seluruh ulama.
Sebagaimana orang yang tidak punya 40 ekor kambing, atau 30 ekor sapi, atau 5 ekor unta, maka tidak ada kewajiban zakat ternak kepada mereka.
Orang yang tidak punya sawah dan tidak bertani tentu saja tidak diwajibkan membayar zakat tanaman. Yang tidak punya emas atau perak tentu tidak diwajibkan bayar zakat emas dan perak.
Dalam urusan shalat Jumat, anak kecil, wanita, orang sakit dan juga musafir tidak terkena kewajiban untuk menjalankannya. Termasuk juga orang yang tinggal di bawadi alias di padang pasir secara nomaden, maka gugurlah kewajiban shalat Jumat bagi mereka.
Maka di masa sekarang ketika dunia sudah tidak lagi mengenal perbudakan, segala hal yang terkait dengan hukum budak pun gugur dengan sendirinya. Sudah tidak boleh lagi hari ini kita berjual-beli budak, juga tidak boleh menyetubuhinya, termasuk gugur pula asnaf untuk budak (wa fir-riqab) dalam rangka menebus cicilan atas pembebasan dirinya.
Yang gugur itu bukan hukumnya, tetapi mahallul-hukmi alias perkaranya atau kasusnya. Kalau perkara atau kasusnya eksis, hukumnya dijalankan. Tapi ketika perkara dan kasusnya sendiri sudah tidak ada lagi, maka tidak mungkin hukumnya dijalankan.
Sebab kewajiban menegakkan hukum itu harus disesuaikan dengan kasus dan perkaranya. Tidak boleh diterapkan pada yang bukan kasus dan perkaranya.
Sumber FB : Ahmad Sarwat
8 Agustus pada 18.59 ·