HANABILAH ATSARIYYAH DAN KLAIM TAFWIDH MADZHAB SALAF
Klaim bahwa tafwidh makna adalah akidah [jumhur] salaf ternyata tidak hanya datang dari ulama' Asy’ariyyah dan Maturidiyyah saja. Ulama' Hanbali [Atsari] dengan jelas dan tegas juga menyatakan sama bahwa tafwidh adalah maslak salaf Ahlussunnah wal Jama’ah dalam interaksinya dengan sifat khabariyah. Itulah kesimpulan jika kita memahami nash-nash mereka.
Tetapi memang kaum awam akan dibuat bingung dan bertanya-tanya. Pasalnya, menurut klaim Salafi, Atsariyyah [Hanabilah] bermadzhab itsbat makna zhahir lughowi [lahiriyah dari sisi bahasa], bukan tafwidh apalagi ta'wil. Tetapi ulama' Hanbali [kontemporer] sendiri, seperti Syaikh Musthofa Hamdu Ulayyan al-Hanbali, Syaikh Abdul Wahid al-Hanbali al-Azhari dll mengatakan bahwa tafwidh makna [sebagaimana yang diyakini Asy'ariyah dan Maturidiyah] adalah akidah salaf atau akidah Ahlussunah wal Jama'ah.
Manakah yang betul?
Menurut saya, beberapa nama ulama' Hanabilah berikut ini cukup untuk membuktikan bagaimana posisi mereka terkait klaim di atas:
Ismail at-Taimi al-Ashbahani (wafat 535 H.)
ومن مذهب أهل السنة : أن كل ما سمعه المرء من الآثار مما لم يبلغه عقله نحو حديث النبي خلق الله آدم على صورته وأشباه ذلك فعليه التسليم والتصديق والتفويض والرضا ولا يتصرف في شيء منها برأيه وهواه من فسر من ذلك شيئاً برأيه وهواه أخطأ وضل
“Termasuk madzhab Ahlussunnah adalah bahwa setiap atsar yang didengar oleh seseorang yang akal tidak mampu menjangkaunya, seperti hadits Nabi: “Allah menciptakan Adam sesuai dengan shurah-Nya” dan hadits-hadits yang menyerupainya, maka wajib menerima, membenarkan, menyerahkan (tafwidh), ridha, serta tidak menggunakan akal dan hawa nafsunya untuk mengotak atik pemahamannya. Barang siapa yang menafsirkan dengan ijtihad dan hawa nafsunya, maka dia silap dan tersesat” (al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah).
Ibn Rajab al-Hanbali (wafat 795 H.):
فلهذا اتفق السلف الصالح على إمرار هذه النصوص كما جاءت من غير زيادة ولا نقص وما أشكل فهمه منها وقصر العقل عن إدراكه وكل إلى عالمه
“Maka karena ini, salaf shalih sepakat membiarkan nash-nash ini sesuai seperti datangnya dengan tanpa menambahi dan mengurangi. Yang musykil difahami dan akal tak mampu menjangkaunya, maka serahkan kepada Allah yang Maha Mengetahui” (Fath al-Bari)
Ibn Adil al-Hanbali (wafat setelah tahun 879 H.):
فأمَّا أنَّ اليد ما هي وما حَقِيقَتُهَا فقد فوَّضنَا مَعْرِفَتَها إلى الله تعالى وهذه طرِيقة السلفِ
“Adapun yad; Apa itu dan apa hakikatnya? Maka kami tafwidhkan pengetahuannya kepada Allah. Dan ini adalah jalannya ulama' salaf” (Al-Lubbab fi Ulum al-Kitab).
Abdurrazzaq ar-Ras’ani al-Hanbali (wafat 661 H.)
وقاعدة مذهب امامنا في هذا الباب اتباع السلف الصالح فما تأولوه تأولناه وما سكتوا عنه سكتنا عنه مفوضين علمه الى قائله منزهين الله عما لا يليق بجلاله
“Kaidah dalam madzhab imam kami (Ahmad bin Hanbal) dalam bab ini adalah mengikuti salaf shalih. Maka yang mereka menta’wilnya, kami juga menta’wilnya, dan mana yang mereka diamkan, kami juga diamkan dengan mentafwidh ilmunya kepada pengucapnya, serta menyucikan Allah dari yang tidak layak terhadap keagungan-Nya” (Rumuz al-Kunuz fi Tafsir al-Kitab al-Aziz)
As-Safarini al-Hanbali (wafat 1188 H.):
ومذهب السلف عدم الخوض في مثل هذا والسكوت عنه وتفويض علمه الى الله تعالى فالواجب على الانسان ان يؤمن بظاهره ويكل معناه الى الله تعالى وعلى ذلك مضت أئمة السلف
“Madzhab salaf tidak membicarakan hal semacam (sifat) ini, mereka diam serta menyerahkan pengetahuannya kepada Allah Ta’ala. Maka yang wajib bagi seseorang adalah mengimani zhahirnya serta menyerahkan maknanya kepada Allah Ta’ala. Dan itulah yang dilakukan oleh imam-imam salaf” (Lawami’ al-Anwar).
Mur’i al-Karmi al-Hanbali (wafat 1033 H.):
وجمهور أهل السنة منهم السلف وأهل الحديث على الايمان بها وتفويض معناه المراد منها الى الله مع تنزيهنا له عن حقيقتها
“Mayoritas ulama Ahlussunnah, diantara mereka adalah ulama salaf dan ahli hadits, mengimani itu dan menyerahkan makna yang dikehendaki kepada Allah serta kita mentahzihkan Allah dari hakikatnya” (Aqawil ats-Tsiqat).
Ahmad bin Abdullah al-Mirdawi
فكل ذلك مما يجب الايمان بظاهره وتفويض معناه الى الله تعالى لا يفسر ولا يوؤل بل تفسيره قرائته وامراره على ظاهره من غير تعرض لمعناه وقد علمت اتفاق السلف على الاقرار والامرار
“Maka semua itu adalah termasuk perkara yang wajib diimani zhahirnya, menyerahkan maknanya kepada Allah Ta’ala, tidak ditafsiri dan dita’wili, akan tetapi tafsirnya adalah bacaannya dan memberlakukannya sesuai dengan zhahirnya dengan tanpa menyinggung maknanya. Dan anda telah tahu kesepakatan salaf yang ikrar dan imrar (membiarkannya)” (Syarah Lamiyyah)
Lalu apakah Hanabilah juga menghindari zhahir [lughowi] dari sifat khabariyah?
Jawabnya benar.
Ibn Ghunaimah al-Hanbali berkata:
وحملها على الظاهر يوجب التشبيه فلم يبق الا التأويل او حملها على ما جاءت لا على الظاهر
"Dan mengarahkan sesuai zhahirnya menyebabkan tasybih. Maka tiada lain kecuali ta'wil atau diarahkan sesuai datangnya dan bukan zhahirnya" [Al-Muwassadah]
Ini juga yang dikatakan Ibnul Jauzi al-Hanbali, Ibn Aqil al-Hanbali, Ibn Hubairah al-Hanbali, Taqiyuddin al-Futuhi al-Hanbali, Mur'i al-Mar'i al-Hanbali dan lain-lain.
Wallahu A'lam
Sumber FB Ustadz : Hidayat Nur
11 Agustus 2020 ·
Akidah Hanabilah Garis Lurus 😀 (by Abdul Wahab Ahmad)