Dulu saya pernah menulis bahwa shalat berjamaah secara online itu boleh dengan satu syarat. Jadi misalnya imamnya radio atau televisi dan makmumnya di rumah maka itu boleh asalkan memenuhi satu syarat, yaitu makmumnya juga sebuah radio atau televisi. Hehe... Ini bukan bercanda, saya serius.
Kebetulan saja tadi ada seorang kawan yang mengirim berita menarik soal ini sebagaimana terlihat di gambar dan link. Jadi sekalian saya tulis lagi sekarang dengan setengah serius saja. Tak perlu serius untuk menanggapi orang yang menyebut Ibnu Qudamah sebagai pengikut mazhab Zhahiri padahal semua tahu bahwa beliau seorang Hanbali.
Syaikh Ahmad bin Shiddiq al-Ghummari pernah menulis kitab tentang ini yang kesimpulannya menyelisihi seluruh ulama lain, yakni boleh saja shalat berjamaah melalui media radio. Ini kitab yang aneh yang pendalilannya aneh. Tapi kita tahu bahwa beliau bukan satu-satunya yang aneh sebab zaman ini memang masanya orang aneh. Akhirnya wajar apabila muncul pendapat yang aneh-aneh juga seperti di link.
Keanehan sekaligus kesalahan fatal pendapat itu adalah melupakan bahwa istilah "jamaah" yang dimaksud oleh Nabi dan dipahami oleh para sahabat adalah berkumpulnya orang-orang di satu tempat. Jadi batasannya adalah tempat, bukan soal melihat, bukan pula soal mendengar dan juga bukan soal masjid atau bukan. Melihat atau mendengar imam memang salah satu syarat menjadi makmum, tapi bukan patokan utama untuk terjadinya jamaah sebab orang buta dan orang tuli tetap bisa berjamaah.
Sebab itulah, para fuqaha' membahas soal kriteria batas seseorang masih disebut berada dalam satu tempat; Berapa jarak antara imam dan makmum boleh terpisah, apakah boleh ada penghalang antara keduanya, apakah makmum bisa lewat ke tempat imam dan sebagainya seperti dibahas secara rinci di kitab-kitab fikih.
Andai kita mau berkhayal dengan liar hingga seolah para ulama klasik memperbolehkan imam dan makmum berada di tempat yang sama sekali berbeda dan berjauhan asalkan mendengar atau tahu gerakan makmum, maka tak perlu jauh-jauh mengkhayal soal televisi dan radio. Cukup lah dibayangkan di masa lalu ketika tak ada televisi dan radio ada orang shalat berjamaah di suatu tempat dan ada dua atau tiga orang berteriak sambung menyambung "Hei...sekarang rukuk..., sekarang i'tidal....sekarang sujud...." hingga sampai jauh ke tempat makmum. Apakah itu disebut berjamaah? Ini pertanyaan yang tak perlu dijawab sebab semua tahu jawabannya tidak. Jadi tak bisa kita membawa-bawa nama Ibnu Qudamah atau siapa pun di masa itu untuk masalah berjamaah online sebab itu sama sekali tidak terpikirkan oleh mereka.
Adapun soal hadis bahwa seluruh planet ini bisa menjadi masjid, itu artinya seluruh tempat bisa dijadikan sebagai tempat shalat asalkan suci dari najis. Bukan berarti bahwa bebas imam ada di tempat mana dan makmumnya di tempat mana. Ini sama sekali tak relevan dengan bahasan.
Alasan lainnya bahwa pernikahan dianggap ibadah adalah jauh dari tepat. Semua kitab fikih meletakkan bab pernikahan di luar bab ibadah sebab memang bukan ibadah. Tapi pernikahan juga bukan mu'amalah murni sebab ada hal yang bersifat ibadah di dalamnya. Sebab itu, mereka meletakkan pernikahan setelah bab ibadah dan sebelum mu'amalah. Apalagi bila menyamakan kasus berjamaah online dengan pernikahan online, ini sama dengan menyamakan ketidak jelasan dengan ketidakjelasan lainnya. Akad nikah kok online.
Jadi, apakah bisa shalat berjamaah secara online? Tidak bisa dan tak ada dalilnya.
Berikut link berta yang dibahas:
https://maarifinstitute.org/sekali-lagi-tidak-ada-masalah-…/
Sumber FB : Abdul Wahab Ahmad
14 Mei 2020 ·