Meski Tak Sepakat, Hargai Jugalah ‘Mazhab’ Masyarakat
Seorang jamaah datang menemui saya. Ia curhat. Bukan masalah keluarga melainkan mengenai Fiqih Khutbah. Ia bercerita. Pekan yang lalu ia shalat Jumat di sebuah masjid. Sang Khatib tidak membaca shalawat Nabi dalam khutbahnya. Sebagian jamaah tampak saling berpandangan. Mereka tentu mengerti bahwa membaca shalawat adalah salah satu rukun khutbah, baik di khutbah pertama maupun kedua.
Setelah shalat, jamaah ini menemui sang khatib untuk menanyakan kenapa ia tidak membaca shalawat Nabi ketika khutbah. Dengan enteng sang khatib menjawab bahwa hal itu tidaklah wajib. Itu ‘hanya’ pendapat Imam Syafi’i. Mendengar jawaban itu, jamaah tadi sedikit kesal. Ia berkata, “Apakah ia (sang khatib itu) merasa lebih hebat dari Imam Syafii sehingga ia tak perlu membaca shalawat dalam khutbah karena itu ‘hanya’ pendapat Imam Syafii?”
***
Saya memahami ‘kekesalan’ jamaah tadi. Ia meyakini bahwa membaca shalawat Nabi adalah salah satu rukun khutbah. Ketika salah satu rukun khutbah ditinggalkan dengan sengaja ini tentu berdampak pada keabsahan Jumat seluruh jamaah yang hadir saat itu.
Sebenarnya tidak hanya kalangan Syafi’iyyah yang mengatakan kalau membaca shalawat Nabi adalah rukun khutbah.
Kalangan Hanabilah –yang tentunya sang khatib sangat menghargai pendiri mazhab ini yaitu Imam Ahmad bin Hanbal- juga mengatakan bahwa membaca shalawat di dalam khutbah itu hukumnya wajib.
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata :
لم يزل الناس يخطبون بالثناء على الله والصلاة على رسوله صلى الله عليه وسلم
“Sejak dulu orang-orang selalu berkhutbah dengan memuji Allah dan shalawat atas Rasul-Nya.”
Imam Ibnu Qudamah menulis dalam kitab al-Mughni yang merupakan rujukan utama dalam mazhab Hanabilah :
ويشترط لكل واحدة منهما حمد الله تعالى والصلاة على رسوله صلى الله عليه وسلم ؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم قال: «كل أمر ذي بال لا يبدأ فيه بحمد الله فهو أبتر» .
وإذا وجب ذكر الله تعالى وجب ذكر النبي صلى الله عليه وسلم لما روي في تفسير قوله تعالى: {ألم نشرح لك صدرك} [الشرح: 1] {ورفعنا لك ذكرك} [الشرح: 4] قال: لا أذكر إلا ذكرت معي، ولأنه موضع وجب فيه ذكر الله تعالى والثناء عليه، فوجب فيه الصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم كالأذان والتشهد
“Disyaratkan pada setiap khutbah (pertama dan kedua) untuk memuji Allah Swt dan bershalawat kepada Rasul-Nya, karena Nabi Saw bersabda: “Setiap urusan yang penting yang tidak dimulai dengan hamdalah maka ia terputus.”
Kalau menyebut Allah Swt wajib maka menyebut Nabi Saw juga wajib. Hal ini berdasarkan tafsir firman Allah Swt: “Bukankah Kami telah lapangkan dadamu?” “Dan Kami tinggikan namamu?” (tafsirnya) : “Tidaklah Aku disebut kecuali engkau akan disebut bersama-Ku.” Dan karena ini waktu yang wajib disebut dan dipuji nama Allah Swt, maka wajib pula bershalawat kepada Nabi Saw seperti halnya azan dan tasyahhud.”
Demikian juga yang ditulis Imam al-Murdawi dalam kitab al-Inshaf fi Ma’rifah ar-Rajih min al-Khilaf. Bahkan, ini juga pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, bahwa membaca shalawat dalam khutbah itu hukumnya wajib, meski ia mengatakan kalau ini tidak menjadi syarat sahnya khutbah.
Pendapat senada juga disampaikan oleh murid Ibnu Taimiyah ; Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah dalam kitab Jala` al-Afham :
إن الصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم في الخطب كان أمرا مشهورا معروفا عند الصحابة رضي الله عنهم أجمعين
“Sesungguhnya shalawat Nabi Saw dalam khutbah sudah menjadi sesuatu yang masyhur dan ma’ruf di kalangan para sahabat.”
Meskipun Ibnu Qayyim mendiskusikan beberapa nash yang digunakan sebagai dalil oleh mereka yang mengatakan bahwa membaca shalawat dalam khutbah itu hukumnya wajib, namun ia tetap mengakui kalau hal ini sudah menjadi sesuatu yang masyhur dan ma’ruf di kalangan sahabat dan masa-masa setelah itu.
Kalau demikian pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnu Qayyim al-Jauziyah yang biasa dijadikan rujukan oleh sang khatib dalam banyak masalah, lalu siapakah rujukannya dalam masalah ini?
Bahkan, kalau pun ia memiliki pandangan yang berbeda dengan kalangan Syafi’iyyah, kalangan Hanabilah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Murdawi al-Hanbali dan ulama-ulama lainnya, apakah tidak sebaiknya ia menghormati mazhab yang dianut oleh masyarakat dimana ia menyampaikan khutbah? Apakah bijak menampakkan perbedaan dengan masyarakat dalam ibadah yang bersifat fardhu dan dalam sesuatu yang mereka yakini sebagai rukun?
Ternyata untuk berkhutbah, berdakwah, berceramah dan sebagainya, yang dibutuhkan tidak hanya ilmu melainkan juga kedewasaan.
والله تعالى أعلم وأحكم
[Yendri Junaidi]
Sumber FB Ustadz : Yendri Junaidi