Membaca Permasalahan Tasybih Pada Shalawat Ibrahimiyyah.
Waktu awal datang ke Mesir, saya langsung membeli beberapa buku sebagai bacaan ringan. Di antaranya, ada Al-Qaul Al-Badi' fi Shalah 'Ala Al-Habib Al-Syafi', kitab yang berisikan penjelasan panjang lebar seputar shalawat kepada nabi karya Imam Al-Sakhawi (w. 902 H). Masih tertulis di awal halaman kitab tanggal kitab itu dibeli, 9 April 2019.
Sebetulnya, ada banyak kitab yang menjadi referensi tentang shalawat, seperti Jalau Al-Afham karya Ibnu Al-Jauzi, atau Al-Durru Al-Mandud karya Ibnu Hajar Al-Haitami, tapi menurut saya, karya Imam Al-Sakhawi merupakan yang terbaik dalam persoalan ini. Selain isi kitab yang lebih lengkap, juga ada energi (madad) khusus dari Imam Sakhawi. Di pertengahan kitab beliau bercerita, bahwa pada zamannya, ada seorang Wali yang tidak beliau sebut namanya, bermimpi melihat Rasulullah membaca kitab Al-Qaul Al-Badi' ini, dan beliau terlihat begitu bahagia dan tersenyum waktu membaca. (Lihat hal 347 Cet. Dar Minhaj).
Ada salah satu faidah penting yang saya dapatkan di sana, yaitu masalah pada shalawat Ibrahimiyyah. Shalawat yang selalu dibaca oleh orang yang shalat pada tasyahud akhir. Shalawat ini juga merupakan bentuk shalawat terbaik. Karena seandainya bukan yang terbaik, tidak mungkin ia dijadikan salah satu bacaan dalam shalat. Begitu keterangan sebagian ulama. Saya lupa baca keterangan itu dimana.
Potongan redaksi shalawatnya seperti ini:
اللهم صلِّ على محمد وعلى آل محمد كما صليت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد مجيد.
“Ya Allah, sampaikanlah shalawat kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau sampaikan shalawat kepada Ibrahim dan kepada kelurga Ibrahim.”
Masalah datang saat shalawat kepada Rasulullah diminta untuk sama dengan shalawat yang diberi kepada Nabi Ibrahim.
Dalam ilmu Balaghah, ada bab yang menjelaskan persoalan Tasybih, yaitu menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain karena adanya titik kesamaan dengan huruf tertentu.
Misalnya, contoh yang paling sederhana:
زيد كالبدر في الحسن
Zaid seperti bulan dalam keindahannya.
Zaid di sini disebut sebagai musyabbah, bulan disebut sebagai musyabbah bih, huruf al-kaf sebelumnya disebut sebagai alat tasybih, dan dalam keindahannya disebut sebagai titik kesamaan (wajh syibh). Ini kaidah sederhananya.
Pada susunan tasybih, musyabbah bih yang pada contoh sebelumnya itu adalah bulan, haruslah sesuatu yang memiliki tingkat keindahan lebih tinggi dari musyabbah, yang pada contoh itu Zaid.
**
Kembali pada redaksi shalawat Ibrahimiyyah.
Jika sudah faham, kaidah sederhana pada bab tasybih, kita akan fahami masalah yang ada pada shalawat tersebut, yaitu shalawat kepada Rasulullah dan keluarganya, diminta untuk menyamai shalawat yang diberikan kepada Nabi Ibrahim dan keluarganya.
Dalam kasus ini, shalawat kepada Rasulullah dan keluarganya merupakan musyabbah, dan shalawat kepada Nabi Ibrahim dan kelurganya merupakan musyabbah bih. Seolah-olah, shalawat kepada Nabi Ibrahim lebih sempurna hingga bisa dijadikan musyabbah bih.
Al-Imam Sakhawi dalam kitab al-Qaul Al-Badi menyertakan beberapa jawaban atas persoalan ini, yang di antaranya:
1.) Rasulullah mengajarkan redaksi shalawat tersebut sebelum mengetahui bahwa beliau lebih utama dan lebih tinggi derajatnya dari Nabi Ibrahim. Jawaban ini didukung dengan hadits riwayat Muslim, bahwa seseorang pernah memanggil Rasulullah dengan panggilan: “Wahai manusia yang paling mulia”, sontak Rasulullah menjawab: “manusia yang paling mulia adalah Ibrahim.”
Namun, jawaban ini menurut Imam Sakhawi masih ada cela. Seandainya memang jawabannya seperti itu, maka Rasulullah tentu akan merubah redaksi shalawatnya setelah beliau tau bahwa beliau lebih utama dari Nabi Ibrahim.
2.) tasybih yang diinginkan adalah esensi shalawatnya, yang berarti memohon kasih sayang Allah yang disertai dengan penghormatan. Bukan tasybih kualitas satu shalawat dengan yang lainnya.
Jawaban ini didukung dengan contoh lain yang terjadi pada ayat:
إنا أوحينا إليك كما أوحينا إلى نوح.
“Sesungguhnya Kami mewahyukan kepadamu (Muhammad) sebagaimana Kami telah mewahyukan kepada Nuh” (QS. An-Nisa 163).
Dan juga pada ayat:
كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من قبلكم.
“Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu.” (Al-Baqarah 183).
Pada ayat pertama, yang dimaksud bukan berarti Nabi Muhammad mendapatkan wahyu yang sama persis dengan apa yang didapat oleh Nabi Nuh, namun esensi wahyu tersebut yang sama. Begitu juga pada ayat ke dua, pendapat yang kuat, yang dimaksud adalah ajaran esensi puasa itu sendiri, bukan kesamaan waktu dan tata caranya.
Jawaban ini juga didukung oleh al-Imam al-Qurtubi dalam kitab al-Mufhim. Di sana, beliau menjelaskan makna shalawat itu dengan artian: “ya Allah, dahulu Nabi Ibrahim dan keluarganya telah mendapatkan shalawat dari-Mu, maka kami meminta agar Engkau berkenan untuk bershalawat kepada Nabi Muhammad dan keluarganya dengan shalawat yang lebih baik.” dengan penjelasan seperti ini, kita akan faham, bahwa yang dimaksud dari tasybih pada shalawat Ibrahimiyyah, bukan menyamakan sesuatu yang sempurna dengan sesuatu yang lebih sempurna, tapi maksud yang diinginkan adalah memberikan keterangan sesuatu yang belum diketahui (shalawat kepada Nabi Muhammad) dengan sesuatu yang telah diketahui sebelumnya (shalawat kepada Nabi Ibrahim).
3.) Ucapan “Ya Allah, sampaikanlah shalawat kepada Muhammad” diputus dari tasybih. Sehingga tasybih yang berlaku, shalawat kepada keluarga Nabi Muhammad diminta untuk disamakan dengan shalawat yang diberikan kepada Nabi Ibrahim dan keluarganya.
Jawaban ini dikomentari oleh Ibnu Daqiq al-Ied, bahwa selain para nabi tidak mungkin menyamai derajat pada nabi. Lalu bagaimana bisa kita memohon shalawat yang diberikan kepada Nabi disamakan dengan selain Nabi?
Komentar ini dibantah dengan jawaban Imam al-Bulqini, dengan jawaban yang kurang lebih sama dengan jawaban nomor dua. Bahwa yang dimaksud bukan kualitas dan tingkatkan shalawatnya, tapi esensi dari shalawat itu saja. Meminta shalawat, bukan berarti harus sama dan setingkat kualitasnya.
4.) jawaban berikutnya, dengan menolak kaidah yang dipaparkan di awal, bahwasanya musyabbah bih harus lebih hebat dari musyabbah. Karena ketentuan ini, tidak berlaku secara mutlak. Sebab di beberapa kasus, ada tasybih dengan sesuatu yang setara, dan bahkan ada juga yang musyabbah bih yang digunakan lebih rendah dari musyabbah.
Contoh kasusnya seperti apa yang ada pada ayat:
مثل نوره كمشكاة فيها مصباح
“Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar.” (QS. Al-Nur 35)
Dalam ayat itu, cahaya Allah menjadi musyabbah, dan lubang dengan cahaya pelita menjadi musyabbah bih. Bukankah musyabbah di sini lebih hebat dari musyabbah bih? Iya, tapi maksud yang diinginkan dalam ayat adalah menggunakan musyabbah bih dengan sesuatu yang mudah difahami oleh orang yang membaca, oleh karena itu digunakan cahaya pelita sebagai perantara untuk memudahkan pemahaman.
Begitu juga kasus yang terjadi pada shalawat Ibrahimiyyah. Zaman dulu, penghormatan kepada Nabi Ibrahim dan kelurganya sangatlah masyhur di berbagai kalangan, sebab mayoritas dari keluarga Nabi Ibrahim berupa para nabi. Oleh karena itu, Redaksi shalawat menggunakan shalawat kepada Nabi Ibrahim dan kelurganya sebagai Musyabbah bih, agar lebih mudah difahami oleh pembaca.
Salah seorang ulama penulis hasyiah atas Tafsir al-Kasyaf: Imam Ath-Thibbi menjelaskan bahwa yang dimaksud pada redaksi shalawat bukan menyamakan sesuatu yang biasa dengan sesuatu yang sempurna, tapi redaksi itu menyamakan sesuatu yang belum begitu dikenal dengan sesuatu yang sudah terkenal.
**
Al-Imam Sakhawi dalam kitabnya tersebut menyebutkan 10 jawaban untuk menjawab persoalan ini, yang dihiasi dengan komentar gurunya al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani, namun apa yang telah disebutkan di atas dirasa cukup menjadi jawaban. Sebab sisa jawabannya, beberapa dikomentari sebagai jawaban yang lemah oleh guru Imam Sakhawi.
**
Fahrizal Fadil Al-Jomblowi.
Jum'at, 15 Juli 2022.
Madinah Buuts al-Islamiyyah.
Sumber FB Ustadz : Fahrizal Fadil
15 Juli 2022 pada 07.22 ·