Dampak Perbedaan Negara terhadap Perbedaan Waktu Puasa
Syaikh Muhammad Sa'id Romadlon Al Buthi menjelaskan hal ini dalam kitab beliau Muhadlorot fil Fiqhil Muqoron. Beliau menjadikannya masalah pertama yang dibahas kitab ini.
Menurut beliau, ada dua pendapat dalam masalah ini :
Pertama. Dilihatnya bulan di satu negara tak dianggap mu'tabar bagi penduduk negara lain jika ia berjauhan.
Ini adalah pendapat Syafi'iyyah dalam pendapat mu'tamad mereka, az Zaila'i dan lainnya dari kalangan Hanafiyyah, Imam Malik menurut riwayat Madaniyyun (penduduk Madinah), Ibnul Majisyun dan Al Mughiroh dari Malikiyyah, Ikrimah, Al Qosim dan Ishaq bin Rohawaih.
Kedua. Dilihatnya bulan di satu negara berlaku untuk seluruh negara. Jika ada penduduk suatu negara memulai puasa di hari Sabtu, lalu ternyata ada yang melihat hilal di hari Jum'at, maka penduduk yang berpuasa Sabtu wajib mengqodlo' puasa yang mereka tinggalkan.
Ini adalah pendapat Hanafiyyah menurut Dhohirur Riwayah, Hanabilah, Malik menurut riwayat Ibnul Qosim dan Mishriyyun. Ibnul Mundzir juga mengutipnya dari Al Muzani (murid Imam Syafi'iy).
Al Buthi memberikan beberapa catatan :
Satu. Sebagian ulama' berpendapat bahwa khilaf dalam hal ini hanya jika jarak antar negara tak terlalu jauh. Dalam kasus jarak yang terlampau jauh (seperti antara Hijaz dan Andalus), maka ijma' ulama' bahwa setiap negara berpegang pada ru'yatnya sendiri. Ijma' ini dikutip Al Qurthubi, Ibn Abdil Barr, Ibn Hajar dan Ibn Rusyd. Namun an Nawawi menyebut bahwa sebagian ahli ilmu berpendapat bahwa ru'yat berlaku global, sehingga ijma' dalam hal ini tidak tercapai.
Dua. Yang juga tak diperselisihkan adalah jika ru'yat telah ditetapkan oleh Al Imam Al A'dhom, yakni Amirul Mu'minin, karena semua wilayah dalam kekuasaannya dianggap satu kesatuan, di mana keputusannya berlaku untuk semua penduduk wilayah tersebut.
WalLahu a'lam
Sumber FB Ustadz : Ahmad Halimy
10 Juli 2022 ·