Ketika Ulama Lebih Disegani Dari Penguasa
Membaca tarjamah (biografi) para ulama merupakan mut’ah (kenikmatan) aqliyyah dan wijdaniyyah tersendiri. Kita tidak hanya mendapatkan faidah dari sisi keluasan ilmu yang dikaruniakan Allah kepada mereka, tapi juga bagaimana ilmu itu menjadi sesuatu yang hidup dan membuat mereka menjadi sosok yang memiliki ‘izzah dan haibah yang hakiki.
Setelah menulis tentang tahqiq kitab Nadhul Kalam yang dinisbahkan secara keliru kepada Imam al-‘Izz bin Abdussalam, saya tertarik membaca kembali biografi beliau dengan seksama dalam Thabaqat Syafi’iyyah Kubra karya Imam Tajuddin as-Subki. Ada banyak pelajaran dan pengajaran yang dapat dipetik dari kehidupan sang alim yang diijuluki dengan Sultan al-‘Ulama. Tidak hanya keilmuannya, melainkan juga keberanian dan keistiqamahannya dalam menyampaikan al-haq.
***
Imam Tajuddin Subki menceritakan dari ayahnya Imam Taqiyyuddin Subki, dari gurunya Imam al-Baji, ia berkata: “Di hari raya, Imam al-‘Izz datang ke qal’ah (benteng) untuk shalat ied bersama Sultan (waktu itu penguasa Mesir adalah Najmuddin Ayyub bin al-Kamil). Beliau melihat para tentara berbaris di hadapan sang Sultan yang mengenakan pakaian kebesarannya. Para menteri dan pembesar kerajaan datang sambil menunduk dan mencium lantai di depan Sultan.
Melihat pemandangan itu, Imam al-‘Izz berkata dengan suara lantang: “Hai Ayyub, apa kelak jawaban engkau kalau Allah bertanya padamu: “Bukankah Aku sudah jadikan engkau berkuasa di Mesir, tapi kenapa engkau membiarkan khamar merajalela?”
Sultan terkejut dan bertanya, “Apakah itu terjadi?” Imam al-‘Izz menjawab, “Iya… Kedai fulan menjual khamar. Ditambah kemungkaran yang lain. Sementara engkau bersenang-senang dengan kemewahan sebagai raja.”
Dengan gemetar Sultan berkata: “Ya Sayyidi, bukan aku yang membolehkan semua itu terjadi. Itu sudah ada sejak zaman ayahku dulu.”
Dengan tegas Imam al-‘Izz berkata: “Engkau termasuk orang yang disebut dalam al-Quran : “Sesungguhnya Kami mendapati nenek moyang kami melakukan satu kebiasaan…”.
Akhirnya Sultan menginstruksikan berbagai kemungkaran itu untuk dimusnahkan.”
Imam al-Baji melanjutkan: “Berita tentang dialog yang terjadi antara Imam al-‘Izz dengan Sang Sultan tersebar luas. Saya datang untuk menemui Imam. Saya bertanya, “Sayyidi, bagaimana kabar Tuan?” Ia menjawab: “Anakku, tadi aku melihatnya (Sultan) berada dalam kemegahan dan kebesaran. Aku sengaja merendahkannya agar ia tidak sombong, karena itu berbahaya bagi dirinya sendiri.”
“Sayyidi, apakah engkau tidak takut?”
“Demi Allah, wahai anakku, aku hadirkan kebesaran Allah dalam hatiku, sehingga dalam pandanganku Sultan tak ubahnya seperti seekor kucing.”
***
Beberapa tokoh penting dalam kerajaan Mesir kala itu berasal dari Turki. Mereka belum merdeka sepenuhnya, meskipun sudah menjadi penguasa. Imam al-‘Izz menilai bahwa jual-beli, bahkan nikah mereka tidak sah. Diantara mereka bahkan ada yang menjabat sebaga Wakil Sultan. Ketika tahu fatwa Syekh al-‘Izz tentang mereka, ia sangat murka. Bagaimana mungkin syekh begitu berani menilai mereka masih budak.
Mereka berkumpul lalu bertemu dengan Imam al-‘Izz. Dengan tenang Imam al-‘Izz berkata: “Solusinya adalah nama kalian dipanggil satu persatu dalam satu majlis khusus, kemudian kalian dilelang. Dengan cara itu baru kalian merdeka secara syariat.”
Mereka tidak terima dengan saran sang Imam. Mereka mengadukan hal itu kepada Sultan. Sultan meminta Imam al-‘Izz menarik fatwanya. Tapi bukan Imam al-‘Izz sosok yang menarik fatwa hanya karena ancaman penguasa. Sultan pun berang. Ia menganggap Imam al-‘Izz telah ikut campur dalam hal yang bukan urusannya. Ia bahkan sampai mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas pada sang Imam.
Sang Imam pun marah. Bukan karena dirinya tersinggung melainkan karena keengganan sang Sultan menerapkan hukum syariat. Akhirnya sang Imam mengangkut barang-barangnya di atas seekor keledai. Sementara keluarganya diangkutnya dengan keledai yang lain. Ia bertekad meninggalkan Kairo menuju Syam.
Baru berjalan beberapa ratus meter, lebih dari separuh masyarakat Mesir datang menyusulnya. Bahkan para wanita dan anak-anak pun ikut menyusul sang Imam. Berita ini sampai ke telinga Sultan. Ada yang berkata kepadanya: “Kalau Syekh Izzuddin sampai pergi maka kekuasaanmu akan ikut pergi.” Akhirnya Sultan pergi menyusul sang Imam dan memohon maaf serta meminta keridhaannya. Sang Imam bersedia kembali dengan syarat para penguasa yang masih berstatus budak itu bersedia dijual untuk bisa merdeka secara sah.
Wakil Sultan masih belum bisa menerima fatwa Imam al-‘Izz. Ia berkata: “Bagaimana mungkin Syekh ini memanggil nama kami untuk dijual sementara kami adalah penguasa di daerah ini?” Tapi Sang Imam tetap teguh pada fatwanya. Wakil Sultan pun murka. Ia berkata: “Demi Allah, aku akan membunuhnya dengan pedang ini.”
Ia pun datang bersama beberapa pengawalnya ke rumah sang Imam dengan pedang yang terhunus di tangannya. Setelah pintu dibuka keluarlah putera Syekh Izzuddin yang bernama Abdul Latif. Ketika melihat Wakil Sultan berada di depan rumah sambil menghunus pedang ia kembali masuk memberitahu ayahnya. Sang ayah tak gentar sedikitpun. Bahkan wajahnya tak berubah sama sekali. Dengan tenang ia berkata pada anaknya: “Anakku, ayahmu belum pantas untuk terbunuh di jalan Allah.”
Sang Imam keluar dari rumahnya. Baru saja pandangannya bertemu dengan pandangan sang Wakil, tangan sang Wakil gemetar, badannya menggigil dan pedang yang dihunusnya terlepas. Ia menangis dan memohon doa pada sang Imam. Lalu ia berkata: “Ya Sayyidi, apa yang akan engkau lakukan pada kami?” Sang Imam berkata: “Aku akan memanggil nama kalian satu persatu untuk dijual.”
“Apa yang engkau lakukan terhadap uang hasil penjualan ini?”
“Digunakan untuk kepentingan kaum muslimin.”
Akhirnya para penguasa itu pun dijual dengan harga tinggi lalu hasilnya diserahkan ke baitul mal.
رحم الله الإمام القدوة عز الدين بن عبد السلام سلطان العلماء ورضي عنه
[YJ]
Sumber FB Ustadz : Yendri Junaidi
12 Juni 2022 pada 00.47 ·