Beberapa Masalah Terkait Ibadah Kurban
Sebenarnya istilah kurban kurang tepat untuk menyebut ibadah penyembelihan di hari Idul Adha. Istilah yang benar sesungguhnya adalah udhhiyyah (اْلأُضْحِيَّة), idhhiyyah (الْإِضْحِيَّة), atau dhahiyyah (الضَّحِيَّة). Secara bahasa, ketiga kata ini memiliki arti yang sama yaitu kambing yang disembelih di waktu dhuha atau di pagi hari Idul Adha.
Adapun secara istilah, udhhiyyah berarti:
مَا يُذَكَّى تَقَرُّبًا إِلَى اللهِ تَعَالَى فِي أَيَّامِ النَّحْرِ بِشَرَائِطَ مَخْصُوْصَةٍ
Binatang yang disembelih di hari-hari an-Nahr (kurban) untuk bertaqarrub kepada Allah Swt dengan syarat-syarat tertentu. (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwait Jilid 5 hal 74).
Sementara istilah kurban (dalam bahasa Arab: القُرْبَان ) sesungguhnya memiliki arti yang jauh lebih umum daripada istilah udhhiyyah (yang sudah terlanjur diartikan ‘kurban’ dalam bahasa Indonesia). Secara bahasa, kurban berarti segala sesuatu yang dilakukan untuk mendekatkan diri pada Allah Swt, baik berupa sembelihan atau ibadah-ibadah lainnya (ia semakna dengan taqarrub التَّقَرُّب ).
Jika kurban (pendekatan diri pada Allah Swt) yang dilakukan itu berupa sembelihan, maka dalam hal ini ia sama persis dengan udhiyyah. Tapi jika kurban yang dilakukan tidak berbentuk penyembelihan berarti ia berbeda dengan udhiyyah. Jadi makna kurban sesungguhnya lebih umum dan lebih luas daripada udhiyyah. Namun karena sudah menjadi istilah yang umum dipakai maka kita ikuti saja.
Hukum berkurban
Ibadah kurban hukumnya sunnah mu`akkadah. Hal ini berdasarkan firman Allah Swt:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
"Maka shalatlah untuk Tuhanmu dan berkorbanlah."
Juga hadits Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Barra` bin ‘Azib:
إِنَّ أَوَّلَ مَا نَبْدَأُ بِهِ فِي يَوْمِنَا هَذَا أَنْ نُصَلِّيَ ثُمَّ نَرْجِعَ فَنَنْحَرَ، مَنْ فَعَلَهُ فَقَدْ أَصَابَ سُنَّتَنَا، وَمَنْ ذَبَحَ قَبْلُ فَإِنَّمَا هُوَ لَحْمٌ قَدَّمَهُ لِأَهْلِهِ، لَيْسَ مِنَ النُّسُكِ فِي شَيْءٍ
"Sesungguhnya yang pertama kali kita lakukan di hari ini (Idul Adha) adalah shalat. Kemudian kita pulang lalu kita menyembelih kurban. Siapa yang melakukan seperti ini berarti ia telah mengamalkan sunnah kita. Tapi siapa yang telah menyembelih sebelum shalat berarti itu hanya daging biasa yang diberikannya pada keluarganya, tidak termasuk kategori ibadah kurban sedikitpun." (HR. Bukhari nomor 5545).
Sekilas ayat dan hadits di atas bisa saja dipahami sebagai dalil untuk kewajiban melakukan kurban. Tapi oleh mayoritas para ulama, nash ayat dan hadits tersebut tidak dipahami secara zhahir (tekstual). Karena ada hadits lain yang menjelaskan bahwa ibadah kurban hanya untuk siapa yang mau saja. Seperti hadits:
مَنْ كَانَ عِنْدَهُ ذَبْحٌ يُرِيْدُ أَنْ يَذْبَحَهُ فَرَأَى هِلاَلَ ذِي الْحِجَّةِ فَلاَ يَمَسَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلاَ مِنْ أَظْفَارِهِ حَتَّى يُضَحِّي
"Siapa yang punya hewan sembelihan yang ingin ia sembelih, lalu ia melihat hilal Dzulhijjah maka janganlah ia memotong rambut dan kukunya sedikitpun sampai ia berkurban."
Para ulama Syafi’iyyah mengatakan, ibadah kurban termasuk dalam kategori sunnah kifayah untuk satu keluarga. Artinya, jika sudah dilakukan oleh satu orang dalam satu keluarga maka tuntutan untuk berkurban terhadap anggota keluarga lainnya menjadi gugur.
Imam ar-Rafi’i mengatakan:
الشَّاةُ الْوَاحِدَةُ لاَ يُضَحَّى بِهَا إِلاَّ عَنْ وَاحِدٍ لَكِنْ إِذَا ضَحَّى بِهَا وَاحِدٌ مِنْ أَهْلِ بَيْتٍ تَأْتِى الشِّعَارُ وَالسُّنَّةُ لِجَمِيْعِهِمْ
"Seekor kambing hanya boleh untuk kurban satu orang. Tapi jika salah seorang anggota keluarga sudah berkurban maka syi’ar dan sunnah ibadah kurban telah mencakup seluruh anggota keluarga lainnya."
Ibadah lain yang juga masuk dalam kategori sunnah kifayah adalah memulai mengucapkan salam, menjawab orang yang bersin dan sebagainya.
Dalil yang menunjukkan bahwa ibadah kurban ini termasuk sunnah kifayah adalah hadits:
ضَحَّى بِكَبْشَيْنِ قَالَ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ
"Nabi saw berkurban dengan dua ekor kibasy dan ia berdoa: Ya Allah, terimalah dari Muhammad dan keluarga Muhammad."
Juga hadits dari Abu Ayyub al-Anshari, ia berkata:
كُنَّا نُضَحِّي بِالشَّاةِ الْوَاحِدَةِ يَذْبَحُهَا الرَّجُلُ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ ثُمَّ تَبَاهَى النَّاسُ بَعْدُ فَصَارَتْ مُبَاهَاةً
"Kami biasanya berkurban satu ekor kambing saja. Kambing disembelih oleh kepala rumah tangga, untuk dirinya dan juga untuk keluarganya. Tapi kemudian manusia berbangga-bangga sehingga ibadah ini menjadi seperti perlombaan." (HR. Malik dalam kitab Muwaththa`, dan dihukum shahih oleh Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu’.)
Kapan waktu menyembelih?
Waktunya dimulai setelah masuknya waktu shalat Idul Adha dengan dua rakaat shalat sunnah serta dua khutbah, baik Imam telah shalat maupun tidak, baik si mudhahhi (peserta kurban) ikut shalat maupun tidak, baik ia dari hadhirah (kota) maupun badiyah (kampung), baik ia muqim (menetap) maupun musafir (dalam perjalanan), dan baik Imam telah menyembelih korbannya maupun belum.
Kalau penyembelihan dilakukan sebelum itu maka tidak sah. Ia dinilai sebagai penyembelihan biasa.
Dalilnya adalah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Barra` bin ‘Azib ra:
خَطَبَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّىَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ النَّحْرِ بَعْدَ الصَّلاَةِ فَقَالَ: مَنْ صَلَّى صَلاَتَنَا هَذِهِ وَنَسَكَ نُسُكَنَا فَقَدْ أَصَابَ سُنَّتَنَا وَمَنْ نَسَكَ قَبْلَ صَلاَتِنَا فَتِلْكَ شَاةُ لَحْمٍ فَلْيَذْبَحْ مَكَانَهَا
"Rasulullah saw berkhutbah di hari kurban setelah melaksanakan shalat Ied. Lalu ia bersabda: “Siapa yang shalat seperti shalat kita ini, berkurban seperti kurban kita maka ia telah melakukan sunnah kita. Tapi siapa yang berkurban sebelum shalat maka itu hanya bernilai daging kambing biasa. Maka hendaklah ia menyembelih kambing lain sebagai gantinya."
Waktu untuk berkurban tetap berlangsung sampai akhir hari tasyrik (13 Zulhijjah). Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Jubair bin Muth’im bahwa Rasulullah saw bersabda:
كُلُّ أَيَّامِ التَّشْرِيْقِ ذَبْحٌ
"Seluruh hari tasyriq adalah hari penyembelihan."
Orang yang sudah berniat untuk berkurban dianjurkan untuk tidak memotong rambut dan kuku sejak masuknya bulan Zulhijjah, berdasarkan hadits Rasulullah Saw riwayat Imam Muslim:
مَنْ كَانَ عِنْدَهُ ذَبْحٌ يُرِيْدُ أَنْ يَذْبَحَهُ فَرَأَى هِلاَلَ ذِي الْحِجَّةِ فَلاَ يَمَسَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلاَ مِنْ أَظْفَارِهِ حَتَّى يُضَحِّي
"Siapa yang punya hewan sembelihan yang ingin ia sembelih, lalu ia melihat hilal Dzulhijjah maka janganlah ia memotong rambut dan kukunya sedikitpun sampai ia berkurban."
Hikmah dari hal ini adalah agar semua bagian tubuhnya dimerdekakan atau dibebaskan dari neraka. Tapi ini tidak wajib, karena sang mudhahhi (peserta kurban) tidak dalam kondisi ihram.
Apa saja jenis binatang yang sah untuk dikurbankan?
Para ulama sepakat bahwa binatang yang sah untuk dikurbankan adalah yang termasuk dalam jenis al-an’am. Hal ini berdasarkan firman Allah Swt dalam surat al-Hajj ayat 34:
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيْمَةِ الْأَنْعَامِ
"Setiap umat Kami jadikan ibadah tertentu agar mereka menyebut nama Allah atas nikmat binatang ternak yang diberikan-Nya pada mereka..."
Yang termasuk dalam kategori al-an’am itu adalah onta, sapi (termasuk kerbau) dan kambing (atau domba dan sejenisnya).
Kalau untuk domba (الضَّأْن), yang sah adalah jenis jadza’ah جَذَعَة (yang berusia minimal setahun, dan ada yang berpendapat minimal enam bulan).
Sementara untuk kambing, sapi dan onta, yang sah adalah jenis tsaniyyah الثَّنِيَّة (untuk kambing: yang berusia minimal setahun, untuk sapi: yang berusia minimal dua tahun, sementara untuk onta: yang berusia minimal lima tahun).
Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah Saw:
لاَ تَذْبَحُوا إِلاَّ مُسِنَّةً إِلاَّ أَنْ تَعْسُرَ عَلَيْكُمْ فَاذْبَحُوْا جَذَعَةً مِنَ الضَّأْنِ
"Jangan sembelih kecuali jenis musinnah, kecuali kalau sulit maka boleh menyembelih jenis jadza’ah untuk domba."
Ali bin Abi Thalib ra berkata:
لاَ يَجُوْزُ فِي الضَّحَايَا إِلَّا الثَّنِيُّ مِنَ الْمَعْزِ وَالْجَذَعَةُ مِنَ الضَّأْنِ
"Tidak boleh dalam kurban kecuali jenis tsaniyyah dari kambing dan jadza’ah dari domba."
Menyembelih domba lebih baik daripada kambing, berdasarkan hadits Rasulullah Saw:
خَيْرُ الْأُضْحِيَّةِ الْكَبْشُ اْلأَقْرَنُ
"Kurban terbaik adalah domba yang bertanduk besar."
Dianjurkan untuk menggemukkan kurban sebelum disembelih, berdasarkan hadits dari Abu Umamah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari:
كُنَّا نُسَمِّنُ الْأُضْحِيَّةَ وَكَانَ الْمُسْلِمُوْنَ يُسَمِّنُوْنَ
"Kami biasa menggemukkan kurban. Kaum muslimin juga biasa melakukan hal demikian."
Seekor sapi bisa untuk tujuh orang peserta kurban, baik seluruhnya ingin berkurban maupun tidak.
Sebaiknya menyembelih sendiri
Peserta kurban dianjurkan untuk menyembelih kurbannya sendiri. Jika ia tidak bisa atau tidak sanggup, ia boleh mewakilkan pada muslim lain yang lebih bisa dan mengerti tata cara menyembelih. Tapi ia tetap dianjurkan untuk ikut menyaksikannya.
Dalilnya adalah sabda Rasulullah pada Fathimah:
قُوْمِي إِلَى أُضْحِيَّتِكِ فَاشْهَدِيْهَا فَإِنَّهُ بِأَوَّلِ قَطْرَةٍ مِنْ دَمِهَا يُغْفَرُ لَكَ مَا سَلَفَ مِنْ ذَنْبِكِ
"Bangkitlah dan saksikan kurbanmu, karena sesungguhnya pada tetesan pertama darah kurban itu Allah akan mengampuni dosamu yang telah berlalu."
Bolehkah berkurban atas nama orang yang telah meninggal?
Berkurban untuk orang yang telah meninggal adalah sah dan dibolehkan. Dalilnya adalah hadits dari Ali bin Abi Thalib ra :
كَانَ يُضَحِّي بِكَبْشَيْنِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبِكَبْشَيْنِ عَنْ نَفْسِهِ وَقَالَ إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَنِي أَنْ أُضَحِّيَ عَنْهُ أَبَدًا فَأَنَا أُضَحِّي عَنْهُ أَبَدًا (رواه أبو داود والترمذي والبيهقي)
Ali bin Abi Thalib biasa menyembelih dua ekor domba atas nama Nabi saw dan dua ekor domba atas namanya dirinya sendiri. Ia berkata: “Sesungguhnya Rasulullah saw memerintahkanku untuk selalu menyembelih atas namanya. Untuk itu aku selalu menyembelihkan atas namanya."
Namun sebagian ulama (seperti Imam ar-Rafi’i, Imam al-Baghawi dan lain-lain) mengatakan tidak sah keculai jika ada wasiat dari si mayat.
Cara menyembelih
Ketika menyembelih kurban, dianjurkan untuk menghadap dan menghadapkan hewan sembelihan ke arah kiblat. Hal ini sesuai dengan hadits:
ضَحُّوْا وَطِيْبُوْا أَنْفُسَكُمْ فَإِنَّهُ مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَسْتَقْبِلُ بِذَبِيْحَتِهِ الْقِبْلَةَ إِلَّا كَانَ دَمُهَا وَفَرْثُهَا وَصُوْفُهَا حَسَنَاتٍ فِي مِيْزَانِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
"Berkurbanlah dan bahagiakan hati kalian, karena tidaklah seorang muslim menghadapkan sembelihannya ke arah kiblat melainkan darah, kotoran dan bulunya dinilai sebagai pahala dalam timbangan kebaikannya di hari kiamat."
Dianjurkan untuk membaca bismillah, bertakbir dan berdoa. Sesuai dengan hadits dari Ibnu Abbas:
لِيَجْعَلْ أَحَدُكُمْ ذَبِيْحَتَهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ ثُمَّ يَقُوْلُ: مِنَ اللهِ وَإِلَى اللهِ وَاللهُ أَكْبَرُ اللَّهُمَّ مِنْكَ وَلَكَ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ
"Jadikan hewan sembelihan itu berada di antara penyembelih dan kiblat, lalu baca: minallah wa ilallah wallahu akbar, minka wa laka, Allahumma taqabbal. "
Bagaimana kalau lupa membaca bismillah?
Tetap sah namun khilaf awla (meninggalkan sesuatu yang afdhal), berdasarkan firman Allah Swt:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ إِلاَّ مَا ذَكَّيْتُمْ (المائدة: 3)
"Diharamkan untukmu bangkai dan darah, kecuali yang kamu sembelih (tadzkiyah)."
Ayat ini bersifat mutlak dan tidak menyebutkan keharusan membaca bismillah.
Juga firman Allah Swt dalam surat al-Maidah ayat 5:
وَطَعَامُ الَّذِيْنَ أُوْتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَّكُمْ
"Makanan (sembelihan) ahli kitab juga dihalalkan bagimu."
Dalam ayat ini dibolehkan memakan sembelihan ahli kitab dan tidak disyaratkan membaca bismillah.
Juga hadits shahih yang diriwayatkan Imam Bukhari dari Aisyah ra, bahwa para sahabat bertanya pada Rasulullah Saw:
يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ قَوْمَنَا حَدِيْثُ عَهْدٍ بِالْجَاهِلِيَّةِ يَأْتُوْنَ بِلَحْمَانٍ لاَ نَدْرِي أَذَكَرُوا اسْمَ اللهِ عَلَيْهِ أَمْ لَمْ يَذْكُرُوْا فَنَأْكُلُ مِنْهَا؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: سَمُّوْا وَكُلُوْا
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya kaum kami baru saja berpisah dengan masa jahiliah. Kadang mereka datang membawa daging, tapi kami tidak tahu apakah mereka menyebut nama Allah atau tidak. Apakah kami boleh memakan daging itu?” Rasulullah saw bersabda: “Baca saja bismillah oleh kalian lalu makanlah.”
Bolehkah menjual daging kurban?
Peserta kurban dilarang menjual daging dan kulit korban. Adapun penerima kurban, jika ia seorang yang miskin maka ia berhak untuk ber-tasharruf (memperlakukan secara bebas) terhadap daging kurban itu. Tapi jika ia seorang yang kaya maka semestinya ia tidak diberikan hak tamlik terhadap daging kurban, melainkan diberi hadiah atau disajikan dalam bentuk makanan padanya.
Dalil dari hal ini adalah hadits dari Ali bin Abi Thalib yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:
أَمَرَنِي رَسُوْلُ اللهِ أَنْ لاَ أُعْطِي الْجَازِرَ مِنْهَا شَيْئًا وَقَالَ: نَحْنُ نُعْطِيْهِ مِنْ عِنْدِنَا
"Rasulullah Saw memerintahkanku untuk tidak memberi tukang bantai dari daging kurban sedikitpun. Lalu Nabi Saw bersabda: “Kami yang akan memberinya secara terpisah.”
Tidak boleh menjadikan daging atau kulit hewan kurban sebagai upah. Semuanya mesti disedekahkan, dihadiahkan atau dimanfaatkan untuk diri sendiri seperti dijadikan tutup bejana, penampung air, khuff (sepatu dari kulit) dan sebagainya.
Ada sebuah pendapat yang gharib (lemah) dinukil oleh Imam al-Haramain bahwa ada ulama yang membolehkan kulit itu dijual lalu uangnya disedekahkan. Tapi mayoritas ulama tidak menyetujuinya.
Tentang kebolehan memanfaatkan kulit hewan kurban itu ada hadits dari Aisyah ra:
دف ناس من أهل البادية حضرة الأضحى في زمان رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم ادخروا الثلث وتصدقوا بما بقى فلما كان بعد ذلك قيل لرسول الله صلى الله عليه وسلم يا رسول الله لقد كان الناس ينتفعون من ضحاياهم ويجملون منها الودك ويتخذون منها الاسقية فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم وما ذاك قالوا يا رسول الله نهيت عن امساك لحوم الاضاحي بعد ثلاث فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم انما نهيتكم من أجل الدافة فكلوا وتصدقوا وادخروا
"Ada sekelompok orang dari kampung datang ke kota di zaman Rasulullah. Rasulullah Saw bersabda: “Simpanlah sepertiga dari daging kurban itu dan sedekahkan sisanya.” Pada tahun berikutnya, ada yang bertanya pada Rasulullah saw: “Ya Rasulullah, ada banyak orang memanfaatkan daging kurban mereka, mereka jadikan tempat daging atau lemak dan mereka buat bejana.” Rasulullah saw bersabda: “Memang kenapa?” Mereka menjawab: “Ya Rasulullah, tahun lalu baginda melarang menahan daging kurban lebih dari tiga hari.” Rasulullah saw bersabda: “Saya melarang disebabkan ada orang-orang dari kampung yang datang ke Madinah. Tapi sekarang makan, sedekahkan dan simpanlah.”
Jadi kulit itu boleh dimanfaatkan untuk dijadikan peralatan rumah tangga, dan boleh juga untuk dipinjamkan, namun tidak boleh disewakan.
Bolehkah memberi tukang potong bagian dari daging kurban?
قَالَ الشَّيْخُ أَبُو حَامِد وَالْبَنْدَنِيْجِي وَالْأَصْحَابُ: إِذَا أَعْطَى الْمُضَحِّي الْجَازِرَ شَيْئًا مِنْ لَحْمِ اْلأُضْحِيَّةِ أَوْ جِلْدِهَا فَإِنْ أَعْطَاهُ لِجَزَارَتِهِ لَمْ يَجُزْ وَإِنْ أَعْطَاهُ أُجْرَتَهُ ثُمَّ أَعْطَاهُ اللَّحْمَ لِكَوْنِهِ فَقِيْرًا جَازَ كَمَا يَدْفَعُ إِلَى غَيْرِهِ مِنَ الْفُقَرَاءِ والله أعلم
"Syekh Abu Hamid, al-Bandaniji dan para ulama Syafi’iyyah lainnya mengatakan: Apabila peserta kurban memberi daging atau kulit hewan kurban pada tukang bantai, jika ia diberi karena jasanya telah membantai maka hal itu tidak boleh. Tapi jika ia telah diberi upah, kemudian diberi juga daging karena ia seorang yang miskin maka ini dibolehkan sebagaimana boleh memberikan daging kurban itu pada orang miskin lainnya. Wallahu a’lam."
Dimana sebaiknya berkurban?
Para ulama Syafi’iyyah mengatakan:
اْلأَفْضَلُ أَنْ يُضَحِّيَ فِي دَارِهِ بِمَشْهَدِ أَهْلِهِ
"Yang lebih afdhal adalah berkurban di tempat tinggalnya dengan disaksikan keluarganya."
Beberapa catatan tambahan :
Syarat-syarat dalam ibadah kurban terbagi tiga: ada syarat terkait dengan binatang kurban, ada syarat yang terkait dengan peserta kurban (mudhahhi) dan syarat terkait dengan waktu pelaksanaan kurban.
Syarat yang terkait dengan binatang kurban:
Pertama : Wajib dari jenis al-an’am (onta, sapi atau kambing), baik jantan maupun betina.
Kedua : Umurnya mencukupi; untuk onta, sapi atau kambing mesti mencapai umur tsaniyyah (dengan rincian seperti diatas), sementara untuk domba mesti mencapai umur jadza’ah.
Ketiga : Bebas dari berbagai aib dan cacat yang berat, yaitu cacat yang tampak jelas atau yang dapat mengurangi daging kecuali beberapa hal yang bisa ditolerir seperti domba yang tidak bertanduk atau tanduknya patah dengan syarat tidak membuat luka besar di bagian kepalanya, matanya rabun tapi tidak buta, telinganya sumbing atau berlubang, ompong (tidak bergigi) dengan syarat tidak menghalanginya untuk makan, dan sebagainya.
Keempat : Milik sah dari peserta kurban.
Syarat yang terkait dengan mudhahhi (peserta kurban)
Pertama : Niat untuk berkurban. Niat ini yang membedakan antara ibadah kurban dengan ibadah lainnya seperti hadyu, aqiqah dan sebagainya. Jika ia mewakilkan pada orang lain untuk menyembelih, niatnya sudah cukup, tak perlu lagi niat si pembantai, bahkan kalaupun ia tidak tahu itu untuk kurban juga tidak apa-apa.
Kedua : Niat mesti beriringan dengan penyembelihan atau ketika ta’yin (memutuskan akan berkurban, baik ketika membeli hewan kurban atau ketika mendaftar sebagai peserta kurban).
Ketiga : Menurut kalangan Hanafiyyah, kurban tidak boleh dicampurkan dengan tujuan lain. Jadi untuk sapi misalnya, ketujuh-tujuh pesertanya mesti berniat sama untuk kurban atau untuk ibadah yang sejenis seperti aqiqah, hadyu, kaffarat dan sebagainya.
Syarat yang terkait waktu:
Berkurban mesti dilakukan di waktu yang disyariatkan yaitu di hari raya (10 Zulhijjah) dan tiga hari tasyriq (11, 12 dan 13 Zulhijjah) dengan rincian seperti yang dijelaskan di atas.
Hal-hal yang dianjurkan dalam berkurban:
Pertama : Setiap yang sudah berniat berkurban dianjurkan untuk tidak memotong rambut dan kuku sejak dari 1 Zulhijjah sampai selesai menyembelih hewan kurban.
Kedua : Dianjurkan hewan kurban itu yang gemuk dan berdaging.
Ketiga : Domba lebih dianjurkan daripada kambing. Dianjurkan domba yang bertanduk besar, berwarna putih dan yang dikebiri.
Keempat : Dianjurkan yang dagingnya lebih disukai oleh masyarakat setempat.
Kelima : Dianjurkan menggemukkan hewan kurban sebelum hari penyembelihan.
Keenam : Menyembelih sendiri hewan kurban jika mampu.
Ketujuh : Membaca bismillah, takbir dan doa.
Kedelapan : Dianjurkan bersegera melakukan penyembelihan (di hari raya Idul Adha, dan tidak ditunggu besok harinya meskipun boleh).
Kesembilan : Menunggu hewan kurban benar-benar mati baru kemudian dikuliti.
Kesepuluh : Daging kurban dibagi tiga; disedekahkan, dihadiahkan dan dimakan (disimpan).
Dalilnya:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما فِي صِفَةِ أُضْحِيَّةِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: وَيُطْعِمُ أَهْلَ بَيْتِهِ الثُّلُثَ، وَيُطْعِمُ فُقَرَاءَ جِيْرَانِهِ الثُّلُثَ، وَيَتَصَدَّقُ عَلَى السُّؤَّالِ بِالثُّلُثِ
"Dari Ibnu Abbas ra, ia menjelaskan bagaimana kurban Nabi saw. Ia berkata: “Nabi memberi makan keluarganya dari sepertiga daging itu, memberi makan tetangga-tetangganya yang miskin dari sepertiganya lagi dan menyedekahkan sepertiganya yang terakhir untuk para peminta-minta."
Tidak semestinya peserta kurban merasa malu dan gengsi memakan daging kurbannya sendiri. Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw bersabda:
ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا، فَإِنْ فَضُلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ، فَإِنْ فَضُلَ شَيْءٌ عَنْ أَهْلِكَ فَلِذِي قَرَابَتِكَ، فَإِنْ فَضُلَ عَنْ
ذِي قَرَابَتِكَ شَيْءٌ فَهَكَذَا وَهَكَذَا
"Mulailah dengan dirimu dan bersedekahlah untuk dirimu. Jika masih ada lebih maka bersedekahlah untuk keluargamu. Jika masih ada lebih maka bersedekahlah untuk karib kerabatmu. Jika masih berlebih maka bersedekahlah untuk yang lain."
Menurut kalangan Hanafiyyah, kebolehan membagi daging kurban menjadi tiga bagian ini tidak berlaku dalam beberapa kondisi:
Pertama : Kurban nazar
Kedua : Hewan yang telah diniatkan untuk dikurbankan, tidak jadi dikurbankan sampai terbenamnya matahari di hari ketiga tasyriq, maka dalam hal ini wajib disedekahkan hidup-hidup.
Ketiga : Kurban atas nama keluarga yang telah meninggal.
Keempat : Hewan yang akan dikurbankan beranak. Maka anaknya ini kalau disembelih wajib disedekahkan semuanya. Ada juga yang berpendapat wajib disedekahkan hidup-hidup.
Kelima : Ikut bagian dalam seekor sapi, sementara diantara peserta yang tujuh (7) orang itu ada yang berniat untuk meng-qadha (mengganti) kurban tahun lalu. Untuk orang ini, niatnya tidak sah untuk berkurban karena yang ia lakukan sebenarnya adalah mensedekahkan nilai kurban tahun lalu. Berarti ia melakukan sesuatu yang bersifat sunnah (tathawwu’). Dan bagiannya dalam seekor sapi itu tersebar (musya`) dalam bagian peserta lainnya. Karena tidak mungkin untuk menentukan mana bagian yang menjadi hak milik orang tadi, maka semua peserta mesti menyedekahkan seluruh daging kurbannya. Wallahu a’lam.
Referensi Utama:
- Kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim
- Fathul Bari karya Ibnu Hajar al-‘Asqalani
- Al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab karya Imam Nawawi
- Mausu’ah Fiqih Kuwait
والله تعالى أعلم وأحكم
[YJ]
Catatan : Pembahasan ini pernah disampaikan dalam Mudzakarah Majlis Ulama Indonesia (MUI) Limapuluh Kota Sumatera Barat pada tahun 2021.
Sumber FB Ustadz : Yendri Junaidi
15 Juni 2022 ·