Faidah Hadits
#Faidah_Hadits
Menurut Syekh Al-Muhaddits Ahmad 'Umar Hasyim, setidaknya ada 3 metode yang digunakan Imam Al-Bukhari saat memulai untuk mengaji hadits: memberikan perhatian lebih kepada kajian sanad dan matan hadits, berpergian ke berbagai daerah untuk bertemu banyak guru, dan hafalan yang kuat yang disertai pemahaman yang baik akan hadits.
Adapun perhatian Al-Imam Al-Bukhari terhadap kajian sanad dan matan hadits sangat luar biasa. Hingga beliau begitu mengetahui dengan detail para perawi hadits, tanggal lahir dan wafat, sifat mereka; apakah orang yang terpercaya atau tidak. Dalam segi matan Al-Bukhari tidak akan mengambil riwayat al-mauquf dan al-maqthu' kecuali ada kesesuaian pada al-Quran dan Hadits yang memiliki sanad yang baik.
Dalam Thabaqat Al-Kubra, Imam Tajuddin Al-Subki menceritakan sebuah kisah saat Salim bin Mujahid sedang berada di sisi Muhammad bin Salam. Salim berkata: “Seandainya tadi kamu datang lebih cepat, kamu akan bertemu dengan anak kecil yang sudah hafal 70.000 hadits.” Ternyata Al-Bukhari baru saja datang untuk mengunjungi Salim dan ia baru saja pulang. Mendengar hal ini, Muhammad bin Salam langsung keluar demi menyusul Al-Bukhari. Saat sudah bertemu, Muhammad bin Salam meyakinkan: “Kamu betul hafal 70.000 hadits?,” dengan penuh keyakinan, al-Bukhari menjawab: “Iya! Bahkan lebih. Aku tidak akan mendatangkan kepadamu suatu hadits, kecuali aku sudah mengetahui tempat lahir setiap rawi, tanggal wafat mereka, tempat tinggal mereka, dan aku tidak meriwayatkan ucapan sahabat maupun tabi'in kecuali aku sudah cek kesesuaiannya dengan Al-Quran dan Sunnah.”
Sedemikian rupa Allah siapkan sosok Al-Bukhari untuk menapaki jalan ilmu semenjak kecil dengan pondasi yang begitu kuat dan naluri seorang santri yang begitu tajam, menjadikan dirinya begitu mudah untuk menghasilkan pengetahuan yang begitu luas. Di tambah sang ayah meninggalkan banyak buku yang menjadikan al-bukhari leluasa untuk membaca dan menghafal, hingga saat umurnya sudah sampai 16 tahun, ia sudah berhasil menghafal buku-bukunya Abdullah bin Al-Mubarak dan Imam Waki', serta mengetahui Mazhab Ahli Al-Rai serta berbagai pendapat mereka.
Sedangkan perjalan beliau dalam menyusuri banyak daerah untuk bertemu dengan banyak guru sangat luas dan panjang. Sangat banyak usaha yang beliau kerahkan demi perjalanan ini. Al-Bukhari tidak merasa cukup dengan hadits-hadits yang dia dapatkan dari negaranya dan sekitar, tapi ia berusaha untuk berpergian demi mencari hadits.
Perjalanan panjang tersebut dimulai dari Mekkah dengan tujuan menunaikan ibadah haji. Al-Bukhari pergi bersama Ibunya dan Ahmad saudaranya pada tahun 210 H. Usai ibadah Haji, ibu dan saudaranya pulang, sedangkan Al-Bukhari menetap di sana dan mulai mengaji. Setelah Mekkah, perjalanan berikut adalah Madinah Al-Munawarrah. Disana juga beliau pertama kali memulai menulis karya. Al-Bukhari bercerita: “Saat umurku masuk umur 18 tahun, aku menulis buku Qadhaya Al-Shahabah wa Al-Tabi'in kemudian aku menulis buku Al-Tarikh (sekarang dikenal dengan Al-Tarikh Al-Kabir) di Madinah, di sisi Maqam Rasulullah, tidaklah nama yang ada pada buku tersebut kecuali aku memiliki cerita tentang sosok tersebut, hanya saja aku tidak ingin membuat buku ini menjadi lebar.”
Al-Bukhari menetap di Madinah selama satu tahun, kemudian pindah ke Bashrah dan menetap di sana selama 5 tahun, kemudian pergi ke Syam, Mesir, Hijaz, Kufah, Naisabur, Asqalan, Khurasan dan kota-kota yang lainnya.
Bagian terakhir sebetulnya tidak masuk ke bagian metode, tapi murni pemberian Allah kepada orang yang Ia kehendaki. Namun diikut sertakan kepada metode min bab al-taghlib.
Hafalan kuat yang miliki oleh Al-Bukhari serta pemahamannya yang begitu tajam saat meneliti hadits adalah murni pemberian Allah kepadanya. Meskipun begitu, beliau memberikan pandangan, bahwa hafalan yang kuat lahir dari semangat seorang lelaki sejati dan terus menerus membaca.
Sebagai bukti kuatnya hafalan Al-Bukhari adalah saat kunjungan beliau ke Baghdad dan para ulama berkumpul untuk menguji hafalan beliau. Semua ulama memegang beberapa hadits dan mengacak sanadnya. Namun Al-Bukhari berhasil melewati ujian tersebut dengan mengembalikan semua sanad pada tempatnya. Dan pada akhirnya semua orang yang hadir mengakui kealiman beliau.
Ahmad bin Hamdun Al-Hafidz bercerita: saya dulu pernah melihat al-Bukhari sedang duduk bersama Muhammad bin Yahya Al-Dzuhali dan berbicara tentang nama-nama para perawi serta illat pada riwayat hadits. Aku melihat al-Bukhari menjelaskan persoalan tersebut seperti anak panah; sangat lancar dan cepat, seolah baginya, permasalahan itu hanya seperti membaca surat Al-Ikhlas.
Hebatnya Al-Bukhari, pemberian yang luar biasa ini tidak membuatnya lupa diri. Beliau begitu warai. Prinsip Al-Bukhari; ia tidak akan membacakan hadits kecuali sudah mengerti mana hadits shahih dan mana yang tidak. Sehingga beliau selamat dari berdusta atas nama Rasulullah. Ini menjadi contoh bagi para pendakwah yang sembarangan mengutip hadits tanpa tau, apakah itu benar dari Rasulullah atau bukan? Apalagi saat ini sudah mendekati bulan Ramadhan yang biasanya sering tersebar hadits palsu tentang fadhilah tarawih pada tiap-tiap malamnya.
__
Fahrizal Fadil
Jum'at, 4 Maret 2022.
Sumber FB Ustadz : Fahrizal Fadil
4 Maret 2022 pada 08.27 ·