HUKUM MENJUAL BARANG KREDIT YANG BELUM LUNAS
Pertanyaan tersebut sering sekali disampaikan dalam berbagai kesempatan kepada saya. Maka jawabannya adalah sebagai berikut
Pada hakikatnya barang yang sudah dibeli itu telah berpindah kepemilikannya dari penjual kepada pembeli meski dibeli dengan cara kredit. Karena itu, pembeli bisa mentasarrufkan barang tersebut sesuai keinginannya. Bisa digunakan sendiri, diberikan pada orang lain atau bahkan menjual kembali barang tersebut. Hanya saja dia memiliki tanggungan (dain) yang harus dia bayar kepada penjual pertama.
Dalam fiqh salah satu praktek seperti di atas dikenal dengan istilah بيع التورق. Dalam kitab Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah dijelaskan
وَالتَّوَرُّقُ فِي الاِصْطِلاَحِ أَنْ يَشْتَرِيَ سِلْعَةً نَسِيئَةً، ثُمَّ يَبِيعَهَا نَقْدًا - لِغَيْرِ الْبَائِعِ - بِأَقَل مِمَّا اشْتَرَاهَا بِهِ؛ لِيَحْصُل بِذَلِكَ عَلَى النَّقْدِ.
وَلَمْ تَرِدِ التَّسْمِيَةُ بِهَذَا الْمُصْطَلَحِ إِلاَّ عِنْدَ فُقَهَاءِ الْحَنَابِلَةِ (2) ، أَمَّا غَيْرُهُمْ فَقَدْ تَكَلَّمُوا عَنْهَا فِي مَسَائِل (بَيْعِ الْعِينَةِ) .
[مجموعة من المؤلفين، الموسوعة الفقهية الكويتية، ١٤٧/١٤]
"Tawarruq secara terminologi adalah membeli komoditas secara kredit kemudian menjualnya kembali secara tunai pad arang lain (selain penjual pertama) dengan harga yang lebih rendah dibandingkan harga pembelian agar pembeli mendapatkan uang tunai. Penamaan ini hanya dikenal dalam istilah madzhab Hanbali. Sedangkan dalam madzhab yang lain ulama' membahasnya dalam beberapa masalah Bai' al-'Inah."
Lebih lanjut dalam kitab tersebut dijelaskan terkait hukum dari praktek Tawarruq tersebut yaitu
جُمْهُورُ الْعُلَمَاءِ عَلَى إِبَاحَتِهِ سَوَاءٌ مَنْ سَمَّاهُ تَوَرُّقًا وَهُمُ الْحَنَابِلَةُ أَوْ مَنْ لَمْ يُسَمِّهِ بِهَذَا الاِسْمِ وَهُمْ مَنْ عَدَا الْحَنَابِلَةِ (3) . لِعُمُومِ قَوْله تَعَالَى: {وَأَحَل اللَّهُ الْبَيْعَ (1) } وَلِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - لِعَامِلِهِ عَلَى خَيْبَرَ: بِعِ الْجَمْعَ بِالدَّرَاهِمِ ثُمَّ ابْتَعْ بِالدَّرَاهِمِ جَنِيبًا (2) وَلأَِنَّهُ لَمْ يَظْهَرْ فِيهِ قَصْدُ الرِّبَا وَلاَ صُورَتُهُ. وَكَرِهَهُ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ الشَّيْبَانِيُّ (3) .
وَقَال ابْنُ الْهُمَامِ: هُوَ خِلاَفُ الأَْوْلَى، وَاخْتَارَ تَحْرِيمَهُ ابْنُ تَيْمِيَّةَ وَابْنُ الْقَيِّمِ لأَِنَّهُ بَيْعُ الْمُضْطَرِّ وَالْمَذْهَبُ عِنْدَ الْحَنَابِلَةِ إِبَاحَتُهُ (4) .
[مجموعة من المؤلفين، الموسوعة الفقهية الكويتية، ١٤٨/١٤]
"Mayoritas ulama' memperbolehkan praktek Tawarruq baik ulama' Hanbali yang menamainya dengan Tawarruq atau ulama' madzhab lainnya yang menggunakan nama lain. Kehalalan praktek tersebut karena masuk dalam kerumunan ayat tentang penghalalan jual beli. Selain itu, dalam praktek tersebut tidak tampak tujuan dan bentuk transaksi riba. Hanya saja 'Umar bin Abdul Aziz dan Muhammad bin Al-Hasan Al-Syaibani menghukuminya makruh. Sedangkan menurut Ibnu Al-Humam hukumnya adalah khilaful awla. Namun Ibnu Taimiyah dan Ibn Al-Qayyim memilih menghukumi haram praktek tersebut karena dianggap jual beli orang terpaksa. Hanya saja pendapat madzhab resmi dari Hanbali memperbolehkannya"
Wallahu A'lam
Sumber FB Ustadz : Abdul Wahid Alfaizin
18 Januari 2022 pada 18.32 ·