LETAK URGENSI ILMU KALAM
Beberapa ulama tidak sreg pada ilmu kalam dan tidak menyarankannya untuk dipelajari. Kalau sudah yakin pada apa pun yang disampaikan oleh Nabi Muhammad maka untuk apa lagi ndakik-ndakik membahas dalilnya atau berdebat soal itu? Mendingan langsung fokus saja pada amal untuk bekal sesudah mati. Kira-kira demikian inti pemikiran mereka. Kata Imam Malik, "Saya tidak suka membahas sesuatu kecuali di bawahnya [berkonsekuensi] pada amal".
Sampai pada taraf tertentu, pemikiran mereka tepat, bahkan sangat tepat, terutama bagi orang awam yang hidup di lingkungan beragama islam yang sudah kondusif dan mapan. Tanpa belajar kalam pun, siapa sih muslim yang tidak tahu kalau Allah itu ada, hidup, melihat, mendengar, mengetahui, berkehendak bebas dan berfirman yang firmannya bernama al-Qur'an itu? Semua sudah pasti tahu dan yakin sebab kalau tidak meyakini itu artinya bukan muslim. Jadinya, cukup masyarakat diajak shalat, puasa, berdzikir dan ibadah lainnya; menjauhi iri, dengki, sombong, riya dan penyakit hati lainnya; tidak perlu diajak membahas ilmu kalam yang tidak penting untuk keseharian mereka.
Tetapi di poin tertentu nasehat tersebut dapat menyisakan masalah. Saya ambil contoh Imam al-Haddad dalam an-Nasha'ih ad-Diniyah, kitab beliau yang sangat luar biasa. Kitab ini adalah kitab tentang penyucian diri dan peningkatan amal. Semua yang dibutuhkan seorang muslim untuk meningkatkan amal ibadahnya diulas dengan sangat apik di sini dengan ketajaman hujjah seperti Imam Ghazali. Hanya saja bedanya dengan Imam Ghazali, beliau mencoba menghindari uraian kalam. Ketika menjelaskan kesalahan orang yang berdalih dengan takdir misalnya, beliau melarang membahasnya secara mendalam dan menukil hadis, kalam Sayyiduna Ali dan Syaikh Muhammad bin Wasi' yang melarang pembahasan takdir. Daripada beralasan bahwa maksiat yang dilakukan adalah takdir, mending berhenti saja dari kemungkaran itu dan menyibukkan diri dengan amal baik. Intinya demikian.
Bagi sebagian orang, penjelasan semacam itu mencukupi, terutama bagi mereka yang berada di lingkungan religius yang kurang kritis. Namun dengan langkah semacam itu bukan tidak mungkin ada sebagian orang yang justru menyimpan keraguan di hatinya tentang Keadilan Allah. Bisa-bisa dia mati sambil menyisakan keraguan apakah Allah benar-benar adil ketika Allah menakdirkan dirinya berbuat maksiat tetapi di saat yang sama membuat dirinya memikul dosa dan mendapatkan siksa? Dia simpan keraguan itu dan takut menanyakannya karena sudah disuruh berhenti duluan jangan membahas itu secara mendalam kalau kamu memang ahlul Haq (orang baik yang berada di jalan yang benar).
Betapa banyak uneg-uneg tentang Tuhan yang disimpan dalam hati saja hingga mati tanpa mendapatkan pencerahan gara-gara takut untuk bertanya. Tuhan sebenarnya laki-laki atau perempuan? Apa kayak manusia bentuknya? Ukurannya besar banget atau gak terlalu besar ya? Kenapa ada setan kalau memang Tuhan maha berkuasa? Kenapa Tuhan membiarkan iblis hidup sih kalau memang menyuruh hambanya ibadah? Kenapa Tuhan menciptakan semesta ini pelan banget dalam evolusi bertahap kalau memang tinggal Kun fayakun? Alam semesta ini diciptakan dari bahan baku apa sih, masak dari gak ada jadi ada? Dan seabrek pertanyaan yang disimpan dalam hati banyak orang. Bahkan ada juga yang mengaku di masa kecilnya gambar pria bersorban dalam bungkus Sarimi dikira Allah, cuma gak berani bilang.
Ketika memberanikan diri bertanya pun pada ustadz atau tokoh agama bisa jadi malah dibully dan dikesankan kurang beriman. Pokoknya diam saja dan beramal saja, shalat saja dan puasa yang rajin, gak usah cerewet!. Ya pokoknya begitu ajaran agama ini, imani saja jangan bawel. Kira-kira begitu jawaban yang didapat bila yang ditanya tidak paham ilmu kalam.
Nah ilmu kalam hadir memberikan pencerahan bagi mereka yang mempunyai masalah atau uneg-uneg semacam itu. Tidak ada yang tabu untuk dibahas dalam ilmu kalam sebab semua kebenaran adalah sesuatu yang selayaknya diketahui dan semua keraguan adalah hal yang selayaknya dihilangkan. Semua pertanyaan di atas ada jawabannya, ada yang jawabannya sederhana dan ada yang perlu pendahuluan panjang sebelum sampai pada jawaban yang dimaksud. Di sinilah letak urgensi dan peran ilmu kalam yang sulit diganti oleh disiplin ilmu lainnya.
Pada kasus seperti inilah ilmu kalam diperlukan sebagai obat. Tentu saja, orang sehat tidak perlu minum obat tetapi jangan sampai bilang bahwa obat tidak berguna dan tidak penting. Yang sakit pun tidak bisa sembarang minum obat, hanya obat yang berlisensi yang boleh dikonsumsi, dalam hal ini adalah ilmu kalam Ahlussunnah wal Jamaah yang asli (Asy'ariyah-Maturidiyah) bukan ilmu kalam yang lain. Itu pun dosisnya harus terukur, tidak perlu membahas masalah yang tidak diperlukan agar tidak malah blunder.
Karena itu hukum mempelajari dan mengajarkan ilmu kalam adalah fardhu kifayah, beda dengan ilmu akidah yang fardhu 'ain. Bila dalam sebuah kelompok masyarakat tidak ada yang mendalaminya sehingga tidak ada yang mampu memberikan resep pencerahan bagi pemilik pikiran akidah yang sakit, maka semuanya berdosa.
Semoga bermanfaat.
Sumber FB Ustadz : Abdul Wahab Ahmad
5 September 2021