Bisakah Melepas Aspek Kenabian Dari Nabi Muhammad?
Mari kita berandai-andai, bagaimana jadinya bila Nabi Muhammad bukanlah seorang Nabi atau Rasul tetapi hanya seorang pemuda visioner yang mengajak kaumnya untuk menyembah Allah saja dan lepas dari mitos peninggalan leluhur Arab untuk menyembah berhala-berhala? Jadi, tidak ada mukjizat, tidak ada malaikat Jibril yang menemani, tidak ada al-Qur'an yang mampu membuat pendengarnya terpesona, tidak ada bocoran langit soal keadaan akhirat, intinya tidak ada wahyu, hanya orang biasa yang cerdas.
Apakah pemuda Quraisy bernama Muhammad putra Abdillah tersebut akan berhasil seperti sekarang? Apakah akan datang kaum Anshar dari Madinah untuk memberinya perlindungan dan pembelaan serta membangun peradaban baru? Apakah orang-orang dari berbagai kabilah Arab yang jauh akan datang kepadanya untuk berbaiat taat dalam suka dan duka? Apakah akan sebesar dan sesukses itu kekhalifahan setelah Dia wafat?
Bagi anda yang paham sejarah, tentu jawaban semua pertanyaan itu adalah tidak. Faktor utama yang muncul dari pribadi pemuda Quraisy tersebut sehingga membuatnya berbeda dan begitu spesial bukan kecerdasan, bukan literasi, bukan kepiawayan orasi, bukan harta, bukan yang lain tetapi karena beliau seorang Rasul akhir zaman yang datang bukan sekedar dengan keshalehan pribadi tetapi juga dibantu seabrek mukjizat. Inilah yang mencoba dijelaskan oleh al-Buthi dalam karya fiqh as-sirah-nya.
Di poin ini kita bisa merasakan betul bagaimana keringnya pembahasan sejarah Nabi Muhammad yang dilakukan beberapa sarjana barat atau lulusan barat yang hanya melihat sosok beliau sebagai sosok aktor sejarah hebat, peletak dasar revolusi dan pemimpin yang sukses tetapi menghilangkan faktor risalah sebagai distingsi. Disuguhi pembahasan seperti itu sama seperti disuguhi bakso tanpa pentol.
Demikian juga kita akan merasa hambar dengan semangat menggelora dari kawan-kawan Hizbut Tahrir yang dengan polosnya merasa dapat meniru jejak langkah politik Nabi Muhammad yang tanpa kekuatan senjata tiba-tiba diberi kekuasaan politik oleh kaum Anshar. Nabi Muhammad tentu bisa mendapat "nushrah" tersebut sebab Dia adalah Rasul. Tetapi jelas di tubuh Hizbut Tahrir tidak ada yang menjadi Rasulullah sehingga tidak ada alasan bagi siapa pun untuk menyerahkan kekuasaannya pada Hizbut Tahrir. Yang ada seperti sekarang, hanya mengglorifikasi diri mereka sebagai [satu-satunya] pengikut khilafah ala manhaj nubuwah lalu mengecam seisi dunia yang tidak mau mendukung mereka serta menolak klaim khilafah dari pihak mana pun selain mereka.
Hizbut Tahrir merasa bisa meniru Rasulullah dalam hal kesuksesan di bidang politik yang pondasi utamanya adalah kenabian tetapi mereka sendiri tidak ada yang menjadi nabi. Kalau menjadi umat nabi, maka selain mereka pun umat nabi semua dan penerus nabi dengan caranya masing-masing.
Akankah Hizbut Tahrir berhasil? Sejauh ini tidak berhasil dan sepertinya dibutuhkan keimanan untuk mempercayai keberhasilan mereka di masa depan. Keimanan ini tentu bukan keimanan pada Allah dan Rasulullah tetapi keimanan pada Taqiyuddin an-Nabhani, pendirinya, yang meramal kesuksesan Hizbut Tahrir berdasarkan klaim khilafah nubuwwahnya. Meskipun sudah beberapa puluh tahun sejak wafatnya Taqiyuddin an-Nabhani kita melihat kegagalan usaha Hizbut Tahrir memunculkan khilafah dengan cara "meminta nushrah" dan malahan organisasi ini dinyatakan ilegal di mana-mana, tetapi para aktivisnya tetap percaya bahwa kelak mereka akan berhasil sebab mereka beriman pada ramalan pendirinya yang memakai hadis untuk menjustifikasi ramalannya.
Sumber FB Ustadz : Abdul Wahab Ahmad
Kajian · 25 Agustus 2021·