Oleh Asmawi*
Sesuai dengan ajaran Islam yang diyakini mayoritas umat, bahwa setiap orang akan mempertanggungjawabkan semua perbuatannya. Jika sewaktu di dunia dia selalu beramal baik, konsisten dengan ajaran-ajaran yang tertuang dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tentu dia akan mendapatkan balasan yang baik pula ketika nanti di akhirat. Sebaliknya orang yang selalu ingkar terhadap ajaran tauhid, tidak istiqomah (konsisten) dengan ajaran-ajaran Rasulullah Saw. <>atau bahkan selalu melakukan kedustaan terhadap syari’at yang tertuang dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka di akhirat juga akan mendapatkan balasan yang buruk yakni neraka.
Salah satu gambaran tentang keadaan orang-orang yang selalu mendustakan Allah dan Rasulullah (al-Kadzab) dan orang-orang yang bertakwa dijelaskan dalam surat al-Zumar ayat 60-61, yang artinya: “Dan pada hari kiamat kamu akan melihat orang-orang yang berbuat dusta terhadap Allah, mukanya menjadi hitam. Bukankah dalam neraka jahanam tempat bagi orang-orang yang menyombongkan diri (60). Dan Allah menyelamatkan orang-orang yang bertakwa karena kemenangan mereka, mereka tidak disentuh oleh adzab (neraka) dan tidak tidak pula mereka berduka cita“ (61). (Saudi Arabia, Al-Qur’an dan Terjemahnya).
Dalam ayat 60-61 surat al-Zumar ini Ibn Katsir dalam tafsirnya menyatakan bahwa Allah memberikan gambaran orang-orang yang mendustakan Allah pada hari kiamat akan berpenampilan dengan wajah-wajah yang hitam, sedangkan orang-orang yang bertakwa mempunyai wajah-wajah yang putih dan bersih. Juga terkandung penjelasan Allah akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa, karena mereka telah melakukan perbuatan yang menyebabkan keberuntungan dan kebahagiaan (mafazah) di kemudian hari. Di antara perbuatan yang menyebabkan keberuntungannya adalah melakukan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan atau kedurhakaan kepada Allah (Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adhim,IV )(Syirkah al-Nur Asia), hal. 60-61). Sedangkan orang-orang yang mendustakan Allah adalah mereka-mereka yang melakukan kemaksiatan, ingkar terhadap ajaran Al-Qur’an dan hari akhir. Menurut Shawi al-Maliki, mereka-mereka yang memberikan fatwa hukum dengan tidak berdasarkan kepada syariat Allah dan Sunnah Rasul juga dikatagorikan mendustakan Allah (Shawi al-Maliki, Hasyiyah al-Shawi ala Tafsir Jalalayn (Beirut:2002).
Menurut Ibn Katsir juga, orang-orang yang termasuk mendustakan Allah adalah golongan-golongan yang terpisah dari golongan Islam, kelompok-kelompok yang selalu mengutamakan perbedaan, perselisihan, atau bahkan bermusuhan (ahl al-Ikhtilaf). Sedangkan orang-orang yang bertakwa adalah orang-orang yang disebut oleh Ibn Katsir dengan Ahl Sunnah wa al-Jamaah. Yakni orang-orang yang selalu berpegang teguh kepada Sunnah Nabi Saw. dan mengutamakan persatuan umat Islam (Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adhim, IV )(Syirkah al-Nur Asia), 60-61).
Dari paparan di atas dapat dipahami bahwa orang-orang yang bertakwa adalah orang-orang yang selalu bergegang teguh terhadap Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah dan juga orang-orang yang selalu memelihara kesatuan umat Islam (Ahlusunnah wal Jamaah). Sebaliknya orang-orang yang mendustakan Allah adalah orang yang ingkar terhadap Allah dan ajaran-ajaran tauhid, selalu mengutamakan perbedaan pendapat, menebarkan permusuhan dan perselisihan (ahl ikhtilaf). Pelajaran dari surat al-Zumar 60-61 itu sangat berharga diaplikasikan dalam kehidupan keberagamaan di Indonesia, di mana potensi keragaman dan pertikaian antar elemen umat beragama, rentan terjadinya konflik antar penganut umat beragama pula. Untuk itu sinergi antar umat beragama mutlak diperlukan dalam rangka menyelesaikan problematika keberagamaan di Indonesia. Jalan satu satunya untuk mempertemukan umat tersebut adalah berpegang teguh kepada kitab suci Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebagai pedoman bersama dan tidak mungkin terjadi perselisihan lagi dalam meyakini kedua sumber beragama tersebut.
Selain berpegang teguh terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah, dalam rangka meminimalisir perselisihan dapat dilakukan dengan mengikuti pendapat mayoritas ulama. Karena realitas di lapangan, walaupun pedoman kitab suci dan Sunnah Rasul sudah dilakukan tetap saja terjadi perbedaan dalam memahami kedua sumber tersebut. Alangkah baiknya kalau pendapat mayoritas dapat diamalkan sebagai upaya untuk mempertemukan berbagai perbedaan pendapat. Sebagaimana pendapat Rasulullah Saw. yang diriwayatkan Anas bin Malik, Aku mendengar Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya umatku tidak akan berkumpul di atas kesesatan, maka ketika kalian melihat perselisihan, maka hendaklah kalian menetapi al-Sawadul al-A’dham, pendapat mayoritas.” (Ibnu Majah). Tentang as-Sawadul al-A’dham dalam banyak kitab disebutkan dengan jumlah mayoritas manusia. Menurut as-Suyuthi, al-Sawadul al-A’dham ialah, “Jamaah mayoritas manusia yang berkumpul di atas jalan yang lurus.” Dari beberapa ulasan di atas dapat dipahami, bahwa kelompok yang selamat dan damai dapat diwujudkan dengan berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw disertai dengan sikap komitmen terhadap al-Jama’ah (mayoritas umat). Wa Allahu A’lamu bi al-Shawab!.
* Mustasyar NU Blitar, Pengasuh Pondok Pesantren al-Kamal dan pPengajar IAIN Tulungagung.Email: asmawi_mahfudz@yahoo.com
Sumber Web : https://www.nu.or.id/post/read/62729/bertakwa-itu-ahlusunnah-wal-jamaah (Senin 12 Oktober 2015 14:10 WIB)