Halal Bihalal
Pada hakikatnya, halal bihalal itu acara saling memaafkan yang disetting lebih resmi atau formal. Dikumpulkan di suatu tempat, ada pembukaan dari ketua panitia, ceramah, doa bersama dan penutupan. Saling memaafkan perkara yang dianjurkan dalam syariat Islam di setiap waktu. Salah satunya, di moment hari raya. Moment ini dimanfaakan oleh masyarakat Indonesia untuk saling memaafkan. Mungkin mereka mengkhususkan hal ini, dalam arti mereka memanfaatkan suatu waktu yang memiliki fadlilah (keutamaan), yaitu hari raya sebagai hari kemenangan umat Muslim setelah sebulan penuh berpuasa. Dan ini boleh.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengkhususkan hari Sabtu untuk berkunjung ke masjid Quba’ dalam rangka melaksanakan salat dua rekaat di dalamnya. Dan hal ini beliau lakukan secara terus-menerus. Lalu perbuatan beliau ini diikuti oleh sahabat Ibnu Umar. Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani (w. 852 H) rahimahullah berkata :
وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ عَلَى اخْتِلَافِ طُرُقِهِ دَلَالَةٌ عَلَى جَوَازِ تَخْصِيصِ بَعْضِ الْأَيَّامِ بِبَعْضِ الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ وَالْمُدَاوَمَةِ عَلَى ذَلِكَ
“Di dalam hadits ini beserta berbagai jalan-jalan periwayatannya menunjukkan, akan bolehnya untuk mengkhususkan sebagian hari dengan sebagian amalan salih dan terus-menerus di atas hal itu.” (Fathul Bari : 3/69).
Kemungkinan lain, mereka hanya memanfaatkan moment yang ada yang dirasa sangat tepat. Karena biasanya, di hari raya orang akan mudah memaafkan dan minta maaf kepada orang lain, yang ini belum tentu bisa dilakukan di hari-hari biasa. Mereka yang mengamalkan hal ini bukan berarti membatasi minta maaf hanya di hari raya. Tidak sama sekali. Mereka juga meminta maaf saat melakukan kesalahan tanpa menunggu hari raya. Karena meminta maaf itu kapan saja dan sesegera mungkin.
Apakah ada dalilnya ? Jika yang dimaksud contoh dari nabi atau dalil yang bersifat spesifik (ta’yin) menyebut halal bihalal, tentu tidak ada. Karena acara halal bihalal bisa jadi hanya ada di Indonesia (Konon, hal ini merupakan usulan seorang alim, yaitu KH. Abdul Wahab Chasbullah kepada presiden Soekarno pada tahun 1948). Tapi menurut para ulama, amaliah ini telah dinaungi oleh dalil yang bersifat umum. Di antaranya, hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda :
مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ، فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ اليَوْمَ، قَبْلَ أَنْ لاَ يَكُونَ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ
“Siapa yang mempunyai kezaliman tehadap saudaranya, baik menyangkut kehormatannya atau sesuatu yang lain, maka mintalah halal (pemaafan) darinya hari ini juga, sebelum dinar dan dirham tidak berlaku lagi (hari kiamat).” (HR. Al-Bukhari).
Sisi pendekatannya, halal bihalal mirip dengan acara buka puasa bersama. Asalnya, keduanya disyariatkan berdasarkan dalil masing-masing. Adapun kemudian disusun dengan acara formal sebagaimana di atas (berkumpul, ada pembukaan, ceramah, dll), merupakan perkara yang baik. Semua ini hanya bersifat teknis saja. Yang penting, tidak ada hal-hal yang melanggar syari’at seperti salaman antara laki-laki dengan perempuan yang bukan mahram, ataupun yang lainnya.
Di negeri kita, acara halal bihalal merupakan tradisi yang telah berlangsung cukup lama (-+ 73 tahun). Diantara mereka yang melestarikannya, ada dari Muhammadiyyah, Nahdlatul Ulama (NU), Dewan Dakwah, MUI dan ormas atau lembaga yang lainnya.
Semoga bermanfaat. Mohon maaf jika ada kekurangan.
(Abdullah Al-Jirani)
***
Sumber FB Ustadz : Abdullah Al Jirani
Kajian · 21 Mei 2021 pada 18.33 ·