Imam Nawawi terkenal dengan kitab hadits Arbain Nawawiyah. Isinya 40-an hadits shahih yang dianggap penting untuk diamalkan.
Meski dinamakan arbain, tapi ternyata jumlahnya tidak pas 40 hadits, ada lebihnya. Jadi kita sebut saja 40-an hadits.
Namun ternyata jauh sebelum An-Nawawi menulis hadits arbain, sudah ada banyak ulama yang menulis kitab berisi 40-an hadits.
Diantaranya Ibnul Mubarak Al-Marwazi (w. 181 H) yang menyusun 40-hadits dalam satu kitab.
Lalu ada Muhammad bin Aslam Ath-Thusi (w. 242 H), Ibrahim bin Ali Azzahali (w. 293 H), Al-Hasan bin An-Nasawi (w. 303 H), Abu Bakar Al-Ajiri (w. 360 H), Ad-Daruquthuni (w. 385), Al-Hakim (w. 405 H) dan lainnya.
Ternyata di setiap abad selalu muncul kitab hadits arba'in. Sehingga menjadi trend tersendiri yang menghiasi sejarah bibliografi khazanah ilmu hadits.
Sebuah penelitian menyebutkan bahwa kalau semua kitab itu didata dan dilisting, yang bergenre arbainat tidak kurang mencapai 500-an kitab.
Kalau diperhatikan, masing-masing ulama punya kriteria sendiri-sendiri ketika mengumpulkan 40-an hadits itu. Ada yang berdasarkan tema fiqih, tauhid dan lainnya.
oOo
Meski pun saya bukan ahli hadits, hanya punya bekal pernah kuliah hadits di S2 jurusan Ulumul Quran dan Ulumul Hadits, tapi saya coba mengumpulkan 40-hadits yang dishahihkan oleh para ulama.
Cuma mengumpulkan saja, tidak meneliti sendiri keshahihan. Kan sudah banyak kitab hadits yang sudah diteliti keshahihannya oleh para ulama hadits yang betulan.
Yang saya lakukan adalah meneliti dan mengumpukan hadits-hadits yang sudah disepakati keshahihanmya, namun ternyata seluruh ulama atau kebanyakannya mereka sepakat untuk TIDAK MENGAMALKANNYA.
Memangnya ada?
Ada dan banyak sekali. Yang bilang shahih tentu para ulama, tapi mereka juga yang bilang tidak perlu diamalkan.
Hanya saja pernyataan itu masih berserakan di berbagai kitab matan dan syarah hadits, bahkan juga di dalam kitab-kitab fiqih.
Lalu buat apa menulis tema semacam ini? Bukannya malah membingungkan orang?
Nah ini dia. Justru tujuannya untuk meluruskan kekeliruan pemahaman yang banyak diderita para pembelajar hadits. Kekeliruan yang selama ini seperti sengaja dibiarkan.
Kelirunya menganggap bahwa semua hadits shahih itu WAJIB DIAMALKAN, sebaliknya semua yang tidak shahih itu WAJIB DIBUANG.
Ini kekeliruan yang teramat fatal. Namun sayangnya justru kekeliruan semacam inilah yang hari ini banyak beredar di kalangan awam yang tidak pernah belajar ilmu hadits secara baku.
Seharusnya didudukkan masalahnya, bahwa status hadits shahih itu hanya sebatas memastikan bahwa jalur periwayatannya memang dijamin valid tersambung hingga ke Rasulullah SAW. Adapun bagaimana kita memahaminya dan menarik kesimpulan hukumnya, babnya beda lagi.
Gampangnya kita semua tahu Nabi SAW tidak pernah berkomunikasi kecuali hanya dengan bahasa Arab. Itu fakta dan tidak bisa dipungkiri. Itu shahih banget.
Pertanyaannya : bagaimana dengan kita? Apakah kita haram berbicara kecuali hanya dalam bahasa Arab saja? Ngomong pakai bahasa Indonesia jadi haram?
Mengingat Nabi SAW sama sekali tidak pernah berbicara dalam Bahasa Indonesia, kira-kira ngomong pakai bahasa Indonesia apakah jadi bid'ah, haram, berdosa, masuk neraka? Karena kita tidak mengamalkan 'sunnah'?
Coba pikirkan, pasti ada begitu banyak hadits shahih yang tidak perlu diamalkan isinya begitu saja. Karena fakta-fakta yang diungkap tidak secara otomatis jadi hukum yang berlalu buat kita.
Kalau menu makanan pokok Nabi SAW sehari-hari itu roti, jelas haditsnya shahih banget. But, apakah kita jadi haram makan nasi, soto, pecel, gado-gado, lontong, jengkol, mie ayam, dan teman-temannya?
Tentu jawabannya tidak. Walaupun hadits bahwa Nabi SAW makan roti itu shahih, tapi secara hukum hadits itu tidak mengharamkan kita makan nasi dan juga tidak mewajibkan kita makan roti. Hadits itu cuma sekilas info saja.
oOo
Lalu apa saja latar-belakang sehingga sebuah hadits shahih menjadi tidak perlu diamalkan? Ada banyak sebabnya, seperti hal-hal berikut ini :
1. Mansukh
Misalnya karena statusnya secara hukum sudah mansukh. Maksudnya ada hadits shahih lain atau bahkan ayat Al-Quran yang memansukhkannya.
Hadits bolehnya nikah mut'ah alias kawin kontrak itu shahih seshahih-shahihnya. Bukhari Muslim kompak meriwayatkan secara shahih.
Tapi, beranikah Anda kawin kontrak di hari ini? Jajalin aja kalau berani. Kan haditsnya shahih. Bukankah semua hadits shahih itu wajib diamalkan? Nah itu shahih, kok nggak berani mengamalkan?
Sampai disini paham, kan?
2 Sunnah Tasyri'iyah
Kadang bisa juga karena yang disebutkan dalam hadits shahih itu sunnah yang tidak terkait dengan ranah tasyri'iyah. Seperti kasus buang hajat di padang pasir, cebok pakai batu, dan lainnya.
3. Khushushiyyah
Dan bisa juga karena hadits shahih itu terkait ranah khushushiyyah Nabi SAW, dimana sunnah itu hanya boleh dilalukan Beliau SAW dan buat kita justru hukumnya haram.
Contohnya Nabi SAW berpuasa wishal siang malam tanpa berbuka. Kita? Haram hukumnya.
Nabi SAW juga menikahi wanita (Zaenab ra) tanpa wali dan saksi. Kita? Ya haram banget lah.
Nabi SAW menikahi 9 istri sekaligus. Menikahi 9 istri jelas-jelas sunnah nabi SAW. Haditsnya shahih semua. Buat kita sebagai ummatnya bagaimana?
Silahkan saja nekat menikahi 9 istri dengan alasan ikut sunnah, justru kita malah masuk neraka jahannam dibakar hidup-hidup.
Jangan bilang, wong mau ikut sunnah kok malah dibakar?
4. Gaya Bahasa
Kadang gaya bahasa hadits itu tidak boleh dipahami secara harfiyah. Kita menemukan hadita shahih yang memerintahkan kita untuk membunuh nyawa orang.
Salahnya apa?
Sepele banget kesalahannya. Ternyata cuma gara-gara dia lewat di depan kita, pas kita lagi shalat.
Malah ada hadits shahih yang memerintahkan kita untuk membakar rumah orang. Bayangkan, agama mengajarkan kita bakar-bakar rumah orang. Memangnya salahnya apa kok rumahnya sampai kudu dibakar?
Ternyata gara-gara penghuninya tidak shalat jamaah. Dan haditsnya shahih seshahih-shahihnya.
Terus bagaimana? Di komplek tempat kita tinggal, banyak banget rumah yang penghuninya tidak pada jamaah ke masjid.
Apa perlu kita siram bensin dan kita bakar saja semuanya sekalian dengan orangnya hidup-hidup? Bukankah begitu menurut hadits shahih-nya?
Jawabnya tentu tidak.
Karena meski Nabi SAW bilang begitu, ternyata belum pernah ada kasus pembakaran rumah di Madinah di masa kenabian. Padahal yang tidak berjamaah ke masjid juga banyak. Jadi jangan dipahami secara harfiyah ya.
oOo
So, untuk lebih detailnya, baca saja langsung bukunya. Daftar isinya juga bisa diintip disini :
http://www.rumahfiqih.com/buku/x.php?id=49...
Yang mau pesan buku ini bisa WA/call Isnawati, Lc.MA di 0821-1159-9103
Atau Lukman Syafri di 0853-4177-1661
Ahmad Sarwat
15 Oktober 2020 pukul 09.26 ·