Fiqih Kontemporer

Kontemporer - Kajian Islam Tarakan
Fiqih Kontemporer
by. Ahmad Sarwat, Lc.,MA

Salah satu masalah paling berat dalam ilmu fiqih adalah fiqih kontemporer. Maka itu tidak keliru kalau sebagian kalangan sering menjulukinya dengan istilah 'qadhiyah fiqhiyah mu'ashirah' atau problematika fiqih kontemporer.

Qadhiyah itu bisa punya banyak makna, misalnya ketentuan, karena diambil dari kata qadha' yang berarti ketetapan. Tapi bisa juga bermakna 'problematika'.

Saya pribadi lebih suka masuk lewat makna yang kedua ini, ya qadhiyah fiqhiyah mu'ashirah. Masalah-masalah fiqih kekininan alias kontemporer.

Kenapa jadi qadhiyah atau masalah?

Karena belum sempat dibahas di kitab-kitab fiqih klasik. Masalahnya baru muncul di masa sekarang, yang nyaris tidak terbayangkan dan tidak terpikirkan oleh para ulama klasik.

Padahal di masa lalu biasanya masalah-masalah fiqih itu sudah bisa diprediksi oleh para ulama jauh sebelum kemunculannya. Itu memang salah satu kehebatan para ulama klasik, sehingga dalam banyak urusan peribadatan, kita masih nyaman menjawabnya dengan menggunakan hasil ijtihad 1.000-an tahun yang lalu.

Contoh sederhana, kitab Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib karya Al-Qadhi Abu Syuja' tahun 593 H. Al-Muhadzdzab karya As-Syairazi itu tahun 476 H dan Al-Hawi Al-Kabir karya AL-Mawardi tahun 450 H. Semau itu masih kita pakai di masa sekarang, khususnya untuk masalah peribadatan.

Tapi kalau sudah menyangkut fenomena yang terlalu kekinian, tiba-tiba kita mengalami kesulitan untuk merujuk kitab-kitab itu. Sebab zamannya berubah, keadaan sosial ekonomi dan teknologi nya juga berubah drastis. Sehingga perlu dikaji ulang dengan lebih kritis.

Bukan berarti kita buang pendapat ulama klasik karena dianggap usang. Tidak demikian maksudnya. Namun kita juga harus mempelajari secara seksama bagaimana ijtihad para lama di seribuan tahun yang lalu dengan berdasarkan fakta dan realitas mereka.

Meski sebagian besar karya fiqih dan ijtihad mereka masih tetap eksis tidak lekang dilanda perubahan zaman, namun tidak bisa dipungkiri dalam beberapa hal nampaknya memang perlu dikaji ulang, karena faktor perubahan zaman yang sangat ekstrim.

Contoh yang paling sederhana tentang konsep uang. Banyak diantara kita yang tidak sadar bahwa hakikat uang di masa lalu dengan di masa sekarang itu sangat jauh berbeda.

Di masa lalu, uang itu berwujud benda berharga seperti emas, perak dan lainnya. Nilainya include di dalam benda itu. Istilahnya nilai intrinsik.

Sedangkan uang kertas yang kita gunakan di masa sekarang, secara fisik hanya hasil cetakan mesin yang secara teknis tidak punya nilai apa-apa. Kalau pun tertulis angka sekian rupiah di atasnya, itu hanya nilai nominal saja. Persis seperti uang mainan.

Kertas itu jadi berharga hanya karena diakui oleh bank negara sebagai alat tukar resmi. Bila pengakuan itu berakhir, uang kertas itu turun derajat menjadi uang palsu atau menjadi uang mainan.

Secara kajian fiqih jelas akan sangat jauh berbeda hukumnya. Tidak sama antara orang di masa lalu punya uang dalam bentuk koin emas seberat 85 gram, dengan kita di masa sekarang punya uang kertas yang bisa untuk membeli emas seberat 85 gram.

Sekedar perbandingan saja, di masa lalu itu orang punya uang berbentuk koin emas seberat 85 gram (20 mitsqal) dan telah memilikinya setahun (haul), maka dia kena zakat atas emasnya.

Namun dim asa itu pula, bila yang dia miliki itu bukan emas, tapi perunggu (disebut fulus), maka tidak terkena zakat. Walaupun jumlahnya banyak dan senilai dengan 85 gram emas. Namun secara syar'i dia tidak terkena kewajiban berzakat.

Sebabnya karena belum terpenuhi syaratnya, yaitu uangnya tidak berbentuk emas. Yang terkena zakat itu emas, bukan harta senilai emas.

Ayatnya di dlaam Al-Quran juga tegas menyebutkan emas.

وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ

Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, (QS. At-Taubah : 34)

Fulus itu uang receh, meski jumlahnya banyak sekai, setara dengan 85 gram emas, namun secara hitungan fiqih tidak termasuk yang wajib dizakati.

Lalu hari ini, justru tidak ada lagi orang yang punya uang dalam wujud emas, atau pun fulus (perunggu). Yang kita pegang hanya kertas yang tidak tidak ada harganya, kecuali hanya di tempat tertentu (NKRI) dan di waktu tertentu(selama masih berlaku). Geser sedikit lokasi dan waktunya, koleksi uang kertas kita langsung jadi mainan anak-anak.

Kalau nggak percaya, silahkan jalan-jalan ke Eropa, bawa kertas rupiah, pasti tidak laku. Kita kudu tukar dulu sebelumnya ke money changer.

Atau coba belaja di warung sebelah, pakai uang kertas keluaran tahun 80-an. Pasti ditolak sama penjualnya. Sudah tidak laku uangnya, pak.

Maka ini jadi qadhiyah fiqhiyah muashirah. Apakah uang kertas bisa diqiyas kan dengan emas, sehingga kena zakat? Ataukah sebaliknya bahwa keberadaan emas yang terkena zakat itu bersifat ta'abbudi dan tauqifi?

Ini jelas PR besar buat kita yang hidup di masa kini. Inilah contoh kecil qadhiyah fiqhiyahmuashirah itu terjadi. Dan pastinya akan ada begitu bayak pendapat yang saling berbeda. Dan perbedaan dalam qadhiyah fiqhiyah mu'ashirah sangat kental dan dominan, melebihi kajian fiqih klasik.

Sumber FB : Ahmad Sarwat
9 Mei 2020·
©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Fiqih Kontemporer - Kajian Ulama". Semoga Allah senantiasa memberikan hidayah dan Taufiq Nya untuk kita semua. aamiin. by Kajian Ulama Aswaja ®