Pertanyaan :Assalamu 'alaikum wr. wb.
Ada sementara kalangan yang mengkritik bahwa fatwa yang melarang shalat Jumat karena untuk menghindari penyebaran wabah itu keliru. Kekeliruannya karena dianggap bertentangan dengan maqashid syariah.
Dalam maqashid syariah yang lima itu, memelihara atau menjaga agama berada pada urutan teratas dalam ukuran skala prioritas, mengalahkan segala kepentingan yang lain, seperti memelihara nyawa, harta, kehormatan dan keturunan.
Bagaimana kita menjawab masalah ini, mohon arahan dan penjelasannya. Syukran.
Wassalam
Jawaban :
Ust. Ahmad Sarwat, Lc., MA
Assalamu 'alaikum wr. wb.
Sebenarnya lima pokok kepentingan manusia yang sering disebut-sebut dalam Maqashid Syariah bukan merupakan ayat Al-Quran atau petikan hadits nabawi.
Maksudnya tidak ada ayat Al-Quran yang secara utuh dan eksplisit menyebutkan kelima point itu. Begitu juga tidak ada satu pun hadits nabawi yang secara utuh dan eksplisit menyebutkan lima point dalam maqashid syariah.
1. Sekilas Tentang Maqashid Syariah
Lalu dari mana sumber maqashid syariah itu?
Sebenarnya sumbernya tetap dari Al-Quran dan As-Sunnah juga. Namun terbentuknya lewat serangkaian ijtihad para ulama sepanjang zaman.
Ada banyak nama besar yang bisa kita sebut karena peranan dan jasa mereka dalam membentuk ilmu tentang maqashid syariah, diantaranya saya sebutkan tiga saja :
a. Imam Haramain al-Juwainy (w. 478 H) dengan karyanya al-Burhan, al-Waraqaat, al-Ghiyatsi, Mughitsul Khalq. Boleh jadi Beliau ini tokoh yang pertama kali secara detail menjelaskan tentang maqashid syariah dan pembagiannya secara lengkap, bahwa ada pembagian dharuriyat, hajiyat dan tahsiniyah
b. Abu Hamid Al-Ghazali (w. 505 H) dengan karyanya dibidang fikih dan ushul fikh seperti; al-Mustashfa, al-Mankhul, al-Wajiz, Ihya Ulumiddin dan Syifa al-Ghalil. Dari tulisan Al-Ghazali inilah kita mulai mengenal bahwa maslahat itu adalah memelihara maqashid syariah, serta dari Beliau kita mengenal dharuriyat al-khamsah (الضرويات الحمسة).
c. Asy-Syathibi (w. 790 H) dengan karya monumentalnya al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam. Sehingga sebagian kalangan sampai mengira bahwa Asy-Syatibi adalah penemu ilmu Maqashid Syariah.
Dan masih banyak lagi para ulama yang seringkali menyebut-nyebut masalah maqashid syariah. Jangankan urutannya, bahkan definisi serta peranan maqashid syariah di tengah mereka pun tidak selalu sama.
Maka ketika ada yang bilang bahwa yang lebih diutamakan dan lebih dibela adalah menjaga kepentingan agama ketimbang kepentingan nyawa manusia, hal itu wajar dan masuk akal.
Namun kita juga harus paham bahwa hal itu hanya sekedar sebuah pendapat dan bukan sesuatu yang qath'i dan mutlak. Dan ada begitu banyak pendapat lain yang tentu bisa menjatuhkan pendapat itu.
2. Pendapat Bahwa Kepentingan Agama Lebih Utama Dari Menjaga Nyawa
Mereka yang memfatwakan bahwa shalat Jumat tidak boleh ditinggalkan bila hanya sekedar takut terkena wabah virus, kadang berhujjah bahwa kepentingan agama di atas segalanya, termasuk di atas kepentingan menjaga nyawa, harta, nasal (anak-anak keturunan) dan kehormatan.
Maka mereka mengeluarkan jargon kurang lebih seperti ini :
حفظ الدين مقدم من حفظ النفس
Kepentingan menjaga dan memelihara agama lebih diutamakan dan diprioritaskan dari pada memelihara nyawa manusia.
Mereka biasanya mengutip beberapa ayat Al-Quran, misalnya tentang bagaimana jual-beli yang Allah SWT tawarkan kepada mereka yang mati syahid.
إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَىٰ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ ۚ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ
Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (QS. At-Taubah : 111)
Selain itu mereka juga mengatakan bahwa mashlahat nyawa, harta, keturunan dan akal sebagai mashlahat yang bersifat duniawi. Sedangkan mashalah agama adalah mashlawat yang bersifat ukhrawi. Padahal kehidupan dunia itu hanya kenikmatan yang memperdaya, sebagaimana firman Allah SWT :
وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan. (QS. Ali Imran : 185)
فَمَا أُوتِيتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَمَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَمَا عِنْدَ اللَّهِ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰ لِلَّذِينَ آمَنُوا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
Maka sesuatu yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia; dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakkal. (QS. Asy-Syura : 36)
وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰ
Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal. (QS. Al-Ala : 17)
3. Hujjah Kuat Bahwa Menjaga Nyawa Lebih Utama Dari Agama
Sedangkan umumnya ulama sedunia ini sepakat bahwa shalat Jumat yang menjadi sumber penyebaran dan penularan wabah harus ditiadakan dan dilburkan sementara waktu. Meskipun aslinya shalat Jumat itu hukumnya fardhu 'ain bagi laki-laki mukmin, aqil, baligh, muqim, dan sehat. Namun karena sudah dipastikan bahwa berkumpulnya kita dalam shalat Jumat itulah yang menjadi sumber penyebaran, maka kepentingan agama dalam hal ini dikalahkan dengan kepentingan menjaga nyawa manusia.
Kaidahnya perlu diluruskan ulang agar tidak terbalik, menjadi :
حفظ النفس مقدم من حفظ الدين
Menjaga nyawa lebih diutamakan dari pada menjaga agama.
Memang kaidah ini jadi terkesan sekuler sekali, bahkan tidak sedikit yang menuduhnya sebagai kemunafikan, kefasikan dan mengikuti hawa nafsu duniawi.
Namun sebenarnya tanpa sadar kita semua tahu bahwa dalam banyak kasus, syariat Islam memang demikian, tidak mendahulukan kepentingan agama atau kepentingan Allah. Sebaliknya justru malah mendahulukan kepentingan manusia.
Mengapa demikian? Dan bagaimana hal itu terjadi?
Berikut ini saya sampaikan beberapa contoh kasus yang sudah terbukti dan kita sepakati semua.
1. Keringanan Boleh Mengaku Kafir
Ketika Amr bin Yasir dipaksa mengucapkan kata-kata kufur dengan ancaman mau dibunuh, maka Allah SWT memberikan keringanan. Tidak mengapa mengaku telah murtad dan kafir, asalkan di dalam hatinya masih beriman.
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَٰكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. (QS. An-Nahl : 106)
2. Boleh Makan Yang Haram
Bangkai itu najis dan haram dimakan, namun ketika dalam keadaan darurat dan taruhannya adalah nyawa, Allah SWT justru mengizinkan kita makan yang sebenarnya haram.
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ ۖ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Baqarah : 173)
3. Boleh Tidak Puasa
Orang sakit dan dalam perjalanan serta orang yang tidak mampu berpuasa, maka Allah SWT izinkan untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan, dengan masing-masing konsekuensinya.
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. (QS. Al-Baqarah : 184)
4. Shalat Boleh Dijamak, Qashar, Sambil Duduk bahkan Berbaring
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَقْصُرُواْ مِنَ الصَّلاَةِ
Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar shalat.(QS. An-Nisa : 110)
صَل قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبِكَ
Dari Imran bin Hushain berkata,”Aku menderita wasir, maka aku bertanya kepada Rasulullah SAW. Beliau bersabda,”Shalatlah sambil berdiri, kalau tidak bisa, maka shalatlah sambil duduk. Kalau tidak bisa, shalatlah di atas lambungmu. (HR. Bukhari)
Dan masih banyak lagi contoh-contoh kasus dimana kepentingan agama dikalahkan oleh kepentingan mashlahat kemanusiaan.
Lalu muncul pertanyaan, mengapa hal seperti ini boleh terjadi?
Ada banyak jawabannya, salah satunya bahwa Allah SWT sendiri yang menghendaki demikian. Bahwa perintah-perintah Allah untuk kepentingan agama itu bisa lebih fleksibel ketimbang kepentingan kemashalahatan sesama manusia.
Rahasianya karena ketika perintah untuk menyembah Allah SWT dikalahkan dengan peintah menjaga kepentingan manusia, maka Allah SWT sama sekali tidak dirugikan. Bahkan meski seluruh manusia tidak ada yang menyembah Allah sekalipun, Allah SWT sama sekali tidak rugi, dan tidak pernah turun kekuatannya.
Sebaliknya, ketika kita menabrak kepentingan manusia dengan alasan untuk menyembah Allah, maka manusia akan sangat dirugikan.
Oleh karena itu justru Allah SWT sendiri yang 'mengalah' untuk kepentingan manusia.
Ketika shalat Jumat itu menjadi ajang yang akan menimbulkan penyakit dan kematian buat manusia, maka kewajiban shalat Jumat yang merupakan kepentingan Allah bisa dikalahkan demi kepentingan umat manusia.
Sedangkan ayat-ayat yang digunakan tentang pentingnya kita mengejar akhirat dengan meninggalkan kepentingan duniawi, harus juga dibacara secara utuh. Sebab di ayat yang lain pun Allah SWT memerintahkan kita untuk tidak melupakan kepentingan duniawi kita sendiri.
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi (QS. Al-Qashash : 77)
Maka dalam hal memilih mana yang lebih didahulukan, apakah kepentingan agama ataukah kepentingan mashalahat manusia, jawabannya adalah kepentingan maslahat manusia.
Ketika kita tidak shalat Jumat, niatnya sama sekali bukan mau menentang perintah Allah. Sebaliknya, justru karena kita taat kepada Allah untuk menghindari hal-hal yang merusak dan beresiko kepada nyawa kita. Dan Allah SWT berfirman :
وَلاَ تُلْقُواْ بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوَاْ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (QS. Al-Baqarah: 195)
وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
Dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri. Sesungguhnya Allah sangat mengasihi kamu. (QS. An-Nisa: 29)
Wallahu a'lam bishsahwab, wassalamu 'alaikum wr. wb.
Ahmad Sarwat, Lc.,MA
Sumber Website : https://www.rumahfiqih.com/konsultasi-2309-tidak-shalat-jumat-menghindari-penularan-bertentangan-dengan-maqashid-syariah.html (Tue 14 April 2020 07:13)